Kajian Full Day School di Era Kurikulum Merdeka

Kajian Full Day School di Era Kurikulum Merdeka
0 Komentar

Era Kurikulum merdeka yang mengusung konsep Student well-being dan pembelajaran berdiferensiasi, sepertinya pemangku kebijakan harus mengkaji dan meninjau ulang tentang pemberlakuan full day school di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta. Apakah sekolah tersebut sudah memenuhi persyaratan bagi penerapan full day school atau belum? Jika tidak memnuhi syarat-syarat tersebut maka full day school hanya bersifat penambahan beban belajar formal yang padat, menjadi rutinitas tanpa makna. Hal ini dapat menyebabkan siswa merasa bosan dan tertekan. Mengurung Siswa di lingkungan sekolah dengan suasana membosankan, tertekan dan tidak menyenangkan, justru dapat mendorong timbulnya prilaku pembangkangan dan kekerasan di lingkungan sekolah.

Student well-being merupakan kondisi dimana dalam proses pembelajaran siswa merasa nyaman, senang, tidak tertekan, dan pembelajaran menjadi bermakna dalam hidup mereka. Indikator student well-being adalah (1) secara kognitif akademiknya baik, (2) secara fisik, siswa bugar dan jiwanya sehat, (3) secara psikologis mereka merasa puas dan tidak merasa tertekan, dan yang terakhir (4) secara sosial mereka mampu membangun hubungan yang harmonis dengan orangtua, teman sebaya, maupun masyarakat sekitar mereka. Pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran yang mampu mengakomodir kebutuhan belajar yang beragam dari Siswa dengan karakteristik dasar yang berbeda, gaya belajar yang berbeda serta kondisi latar-belakang sosial kultur yang berbeda. Full day school pada sekolah dengan persyaratan yang minim, menimbulkan kontradiktif terhadap konsep student well-being dan pembelajaran berdiferensiasi.

Bagi orang tua yang bekerja (secara formal), full day school dianggap sesuai bagi pendidikan anak-anak mereka. Selama orang tua bekerja, dari pagi sampai sore hari, anak berada dibawah pengawasan sekolah dengan kegiatan-kegiatan terarah, hingga dapat mencegah dari perbuatan-perbuatan menyimpang yang tak diharapkan. Tapi perlu diingat bahwa tidak semua orang tua di Indonesia bekerja (secara formal). Lebih banyak orang tua yang bermata pencaharian sebagai buruh, petani, pedagang kecil dan jenis pekerjaan non formal lainnya. Bagi keluarga dengan latar belakang tersebut, anak (yang sudah cukup besar) merupakan sumberdaya yang dapat membantu orang tua untuk mencari nafkah bagi pemenuhan kebutuhan hidup bersama. Dengan waktu belajar 8 sampai dengan 9 jam perhari, program full day school, menutup peluang bagi siswa untuk membantu orang tua mereka. Selain itu, juga menyebabkan siswa kurang berinteraksi dengan lingkungan keluarga, berkurangnya waktu bermain, banyak kehilangan waktu belajar dirumah dan belajar tentang hidup bersama keluarganya (Suranto & Suharningsih, 2017).  Hal ini dapat mengikis sikap simpati, empati dan kepedulian terhadap keluarga, khususnya keperdulian terhadap kesulitan orang tua dalam mencari nafkah untuk membiayai mereka (anak). Anak yang memiliki sikap simpati, empati dan keperdulian terhadp keras dan sulitnya usaha orang tua dalam menafkahi mereka, biasanya memiliki motivasi yang tinggi untuk giat belajar dan bercita-cita meraih sukses demi membahagiakan orang tuanya.

0 Komentar