Mohamad Fauzi
(Direktur HU Pasundan Ekspres)
DINAMISASI kurun waktu 15 tahun seperti Harian Umum Pasundan Ekspres adalah Sunnatullah. Bahkan wajib. Sebuah keniscayaan yang harus disyukuri. Persis 26 Maret, Pasundan Ekspres dilahirkan.
Dari sebuah penamaan yang sangat dinamis di tengah perseteruan para “dewa” saat itu. Saya tidak akan cerita panjang soal ini, karena nama Pasundan Ekspres lahir dari kompetisi akal sehat dan dinamisnya koran kala itu.
Bahwa dunia off print –kami menyebutnya media digital, dunia internet, dunia maya menguasai informasi saat ini tak bisa dibantah. Namun ingat, infonya tidak semua harus ditelan mentah-mentah. Bisa jadi yang asal telan adalah racun hoax bahkan fitnah. Sangat cepat dalam sekejap menjadi konsumsi publik.
Baca Juga:POLSUB-BRIN Sepakati Perjanjian Kerjasama Bidang Teknologi, Pendidikan, dan PenelitianDemi Suksesnya Pemilu dan Pilkada 2024, KPU Subang Gelar Doa Bersama dan Santunan Anak Yatim
Berbeda dunia print (kertas/koran) memang ada masanya. Masa generasi. Masa berlaku, usia yang baku. Harus nunggu waktu. Sebab semua harus dikoreksi dan difilter bahkan harus diramu dalam sebuah pekerjaan jurnalistik. Tulisan news paper, koran cetak. Bukan i-paper, koran digital.
Tak dipungkiri bahwa dunia jurnalisme saat ini terus berkembang. Pelaku dan penikmat jurnalistik pun semakin kompetitif.
Ada pembacanya, ada viewer, ada kliker, ada juga reader. Semua dengan definisi berbeda. Bahkan yang lebih membedakan lagi, bukan soal media itu ramai atau tidak. Dibaca atau tidak. Punya pengaruh atau tidak. Bahkan ada addsennya atau tidak.
Memasang tarif, bahkan membuat slogan-slogan dalam dunia berita online (website) seperti jualan kecap yang paling nomor satu. Tagline yang bagus-bagus. Bahkan bombastis. Untuk menyuguhkan komposisi matan bahkan sanad berita dewasa ini susah ditemui dalam puluhan ribu media online. Untuk menemukan 5W + 1H saja saya pribadi rasanya sulit untuk bisa dikonsumsi sebuah kelayakan berita.
Mungkin lebih cenderung sebuah artikel. Kadang disebut sebuah artikel pun masih jauh dari nilai tulisan berbobot. Kita maklumi saja, yang penting masih produktif dan masih menggunakan kaedah dan kode etik jurnalistik.
Ya, dunia media saat ini sepertinya terus mengejar kemajuan teknologi. Kecepatan bandwidth juga beradu cepat dengan luncuran jari-jari sang penulis, kreator. Mengejar apa? Terupdate atau sebuah pengakuan? Atau sebuah karya jurnalistik?