Oleh:
1. Agus Prasmono, M.Pd.
(Praktisi Pendidikan dari Kabupaten Magetan, tinggal di Ponorogo,Jawa Timur)
2.Drs.Priyono,MSi (Dosen senior pada Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Awal April 2023 ada sebuah berita tentang Regrouping (Baca: Penutupan) delapan Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kabupaten Ponorogo, sebenarnya bukan berita yang menggembirakan khususnya bagi dunia pendidikan. Kalau memang Program KB berhasil sehingga anak usia sekolah menurun jumlahnya, mungkin tidak menjadi masalah, tetapi kalau program KB belum berdampak yang signivikan terhadap usia sekolah maka hal itu perlu ditelusuri mengapa sebabnya. Penulusuran ini bukan mencari siapa yang salah namun mencari bagaimana formula pengembangan satuan pendidikan pendidikan kedepan yang menjadi harapan masyarakat sebagai user pendidikan. Bahkan di beberapa kabupaten bukan hanya SD, namun SMP dan SMA juga tidak sedikit yang mengalami nasib serupa. Namun untuk Kabupaten Ponorogo kelihatanya masih mengancam SD Negeri dan beberapa SMA Swasta walaupun beberapa SMP Negeri di pinggiran juga tidak sedikit yang mulai sekarat, hidup segan matipun tak mau.
Di Ponorogo ada 579 SDN sehingga dengan ditutupnya delapan SDN maka tinggal 571 SD yang masih ada. Sisa itupun bukan berarti Sekolah sehat semua, beberapa SDN juga tinggal menunggu waktu untuk ditutup di tahun depan menyusul temannya yang tahun ini tewas. Sementara di Ponorogo sendiri ada sekitar 307 desa/kelurahan, berarti setiap desa memiliki 1,8 SDN dengan kata lain tidak ada dua SDN per desa. Bahkan setelah regrouping, tahun ini ada desa yang tidak memiliki SDN seperti Kelurahan Kertosari Kecamatan Babadan termasuk kelurahan yang sudah tidak memiliki SDN. Untung disekitar wilayah desa itu banyak sekolah dasar dan MI negeri maupun swasta yang siap melayani pendidikan masyarakat sekitar.
Baca Juga:Fenomena Mudik dan Teori Mobilitas Penduduk KlasikBerkobar di Rest Area Tol Cipali, Api Diduga Berasal dari Gas Alam
Menurut pengamatan penulis ada beberapa penyebab mengapa banyak sekolah dasar yang gulung tikar? Pertama adalah jumlah penduduk usia SD yang memang mengalami penurunan. Tahun 2023 ini kurang lebih hanya ada 8.300 lulusan TK yang siap masuk SD. Dari jumlah ini saja kalau dibagi jumlah SDN yang ada maka setiap SD hanya kebagian 14,8 siswa. Sementara tidak mungkin pembagian ini dibagi rata begitu saja, karena siswa bukan benda yang mudah dibagi-bagi seperti tanah warisan. Dari kasus ini memang jumlah usia lulusan TK menjadi persaingan yang ketat ketika masuk tahun ajaran baru. Hal ini bisa dimengerti walaupun pertumbuhan penduduk Indonesia masih tinggi, namun jumlah penduduk Indonesia didominasi usia produktif (16-65 tahun) yang dikenal dengan bonus demografi, bukan usia Praproduktif atau usia 0-15 tahun. Dengan perubahan piramida penduduk ini tentunya menjadi wajar jika banyak sekolah Dasar banyak yang kekurangan siswa.