Pada akhirnya kue mapaes itu dicoba oleh para tamu undangan dan mereka semua menyukainya. Setelah selesai acara ruwatan lembur, papaes tersebut dibawa pulang oleh beberapa tamu undangan dan kue mapaes semakin dikenal.
Semenjak saat itu, kue papaes sering dipesan oleh kerajaan maupun untuk acara acara lainnya dan banyak dicoba oleh bangsa Belanda.
“Karena pengucapan bangsa Belanda pak Loden pada masanya ‘E’ itu menjadi ‘I’, jadi papaes ini mereka sebut papais,” ujarnya.
Baca Juga:Warga Pantura Keluhkan Kekurangan Air BersihAmbu Anne dan Ahmad Sanusi Siap Nyalon Bupati
Semenjak saat itu, nama papais populer di kalangan masyarakat Desa Cisaat maupun daerah luar Cisaat. Selain itu, kue papais ini juga dilarang dijual di pasaran dikarenakan kue papais ini jadi kue favorit para pejabat.
“Dulunya papais ini kesukaan para gegeden atau menak, sehingga tidak diperbolehkan dijual sembarangan. Sampai saat ini pun, masyarakat Desa Cisaat tidak pernah dijual di pasaran kecuali dipesan terlebih dahulu,” katanya.
Bukan tanpa alasan, kue papais dilarang dijual di pasaran dikarenakan takut disalahgunakan oleh orang jahat, lawan politik dan lain sebagainya, yang bisa membahayakan para pejabat di kerajaan.
Sampai saat ini kue papais terus dilestarikan secara turun temurun oleh masyarakat Desa Cisaat. Bisa dilihat dari setiap acara syukuran lembur atau hajatan kue papais selalu hadir di meja hidangan.(Acp/ery)