Oleh :
Iis Mayasari, S.M (Guru Mapel Produktif SMKS YPI 2 Way Jepara, Lampung Timur)
Pandemi Covid-19 memberikan banyak perubahan dalam berbagai lini kehidupan misalnya saja dalam bidang Pendidikan. Covid-19 merupakan jenis penyakit menular yang mana penularananya terjadi melalui droplet (tetesan kecil) yang keluar saat seseorang bersin maupun batuk. Dilansir dari Web CNCB, melalui surat edaran No 4 tahun 2020, Mendikbud, Nadiem Makariem menyebutkan bahwa selama pandemic pembelajaran sekolah dilakukan dari rumah via daring.
Semua sekolah sepi, jalanan sepi tak ada aktivitas lalu-lalang. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tak dapat dielakkan. Pun kondisi tersebut memunculkan banyak masalah baru mulai dari tidak tersediannya sinyal secara merata, perangkat handphone yang tidak tersedia dan masalah teknis lainnya. Mengutip dari laman Kementerian Pendidikan, kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) bahwa pandemic covid memberikan 3 dampak sosial bagi siswa yakni putus sekolah, penurunan pencapaian belajar dan kekerasan pada anak
Baca Juga:Puluhan Tahun Tak Ada Perbaikan, Revitalisasi Stadion Persikas Bangkitkan Sepak BolaSerunya Perang Semi Militer di Wahana Paint Ball Sariater Hotel And Resort
Dikutip dari media kompas bahwa selama pandemic berlangsung sekolah di Indonesia tutup selama 644 hari atau 21 bulan yakni sejak Maret 2020, yang mana Indonesia termasuk sekolah yang paling lama tutup setelah India (649 hari), Filipina 532 hari, Vietnam 321 hari dan Singapura tutup selama 115 hari. Shinsaku Nomura seorang Ekonom Senior Bank Dunia menyampaikan dampak tutupnya sekolah “Menurut pola global, satu bulan penutupan sekolah biasanya diasosiasikan dengan satu bulan learning loss.”
Masih menurut laporan tersebut siswa miskin mengalami lebih parah learning loss dibandingkan siswa pada umumnya. Begitu juga anak-anak yang tidak memiliki akses internet juga mengalami problem tersebut. Bukan tanpa alasan karena pembelajaran dilakukan secara daring sehingga setiap siswa dituntut untuk memiliki perangkat handphone yang mumpuni serta paket internet. Jika siswa tidak memiliki handphone android dan juga akses internet lalu bagaimana siswa mengetahui mengenai materi apa yang saat itu sedang dipelajari. Belum lagi banyak problem anak kesulitan memahami materi dan ketika ada tugas sekolah orangtua yang turun tangan mengerjakan. Pola seperti ini pun terjadi sampai PJJ berlangsung. “Lebih parah lagi, tugas si anak lalu dikerjakan orangtuanya,” kata dosen pengampu mata kuliah Pengasuhan, Lina Revilla Malik, dosen fasilitator MIKIR dari Yayasan Tanoto. Dari sisi psikologis bantuan yang diberikan orangtua tersebut menjadikan anak lemah serta tidak mampu menyelesaikan masalah. Tetapi tidak semua keluarga seperti itu.