oleh:
Nurmalasari,S.Pd (Guru Bahasa Inggris SMAN 1 Way Jepara,Lampung Timur)
Kebersamaan murid dengan guru tak bisa disangkal akan melahirkan proses yang saling mewarnai, saling mempengaruhi dan saling membentuk kepribadian diri, meskipun warna yang dihasilkan pada masing masing diri tidak meninggalkan jati diri sebagai pribadi yang istimewa. Guru yang tetap berperan layaknya orang dewasa sebagai panutan dan inspirator, begitu juga dengan anak yang tetap dengan kekhasannya sebagai pribadi yang lucu dan diperhatikanan ingin berprestasi.
Jika hubungan sosial emosional sudah baik maka murid pun akan menerima segala pembelajaran yang ia alami dengan senang hati dan dengan caranya sendiri. Hampir serupa ketika kita melakukan penelitian dengan metode wawancara , saat memulai komunikasi denga responden atau orang yang diwawancarai, maka pertama kali adalah menciptakan hubungan baik atau raport dengan mereka untuk menaruh kepercayaan. Dunia anak-anak sangat berbeda dengan dunia orang dewasa, begitu juga dengan cara belajarnya. Anak anak punya jalan berpikir tersendiri dalam melihat sesuatu yang terkadang tidak terpikir oleh orang dewasa.
Baca Juga:Tak Pernah Menyerah, Pasangan Suami Istri Sukses Bikin Usaha Seblak BamboeTeh Kirey dan Kang Bobi Wakil Subang Masuk Enam Besar Pemilihan Mojang Jajaka Jabar 2023
Imajinasi jadi bekal , anak-anak bisa menjadikan kursi sebagai mobil-mobilan, kuda, mainan jungkat-jungkit dan sebagainya. Mereka larut dalam kegembiraan pada masanya. Mereka belajar banyak hal dari bermain. Mulai belajar bermain, berkomunikasi, berinteraksi, problem solving dengan pendekatan kegembiraan.
Seorang guru besar UGM dalam bidang psikologi, Prof Asif (alm) berujar, “Kepanjangan dari akronim ANAK adalah “aku “nakal”, “aktif”, dan kreatif”. Periaku nakalnya anak dalam tanda petik, nakalnya anak pasti terkait aktif dan kreatif. Jangan dibayangkan nakal seperti nakalnya orang dewasa. Jadi, sesungguhnya orang dewasa tinggal mengarahkan keaktifan dan kekreatifan anak. Maknanya adalah penyamaan “frekuensi” atau gelombang antara guru dan anak, dalam arti guru menyamakan frekuensi ke cara berfikir anak dan cara pandang anak, bukan sebaliknya, anak dipaksa menyamakan sesuai persepsi orang tua (pendekatan persepsi orang dewasa). Jikalau terjadi seperti ini anak tidak berkembang sesuai usianya, anak akan merasa bosan, merasa tertekan dan lain-lain.
Fenomena gagap komunikasi antara murid dan guru berangkat dari minimnya pengalaman berkomunikasi yang luwes dan terbuka, bahkan juga peran komunikasi yang diturunkan dari pendahulu menjadi faktor dominan kakunya komunikasi . Maka untuk menumbuhkan komunikasi yang luwes para guru dan orang tua juga perlu banyak belajar dari murid. Siapapun bisa menjadi guru, dalam pengertian seluas-luasnya, tetapi setiap orang juga akan menjadi pembelajar dari setiap peristiwa yang terjadi disekelilingnya.