Ketika Zonasi Menjadi Masalah (bagian 1)

Ketika Zonasi Menjadi Masalah (bagian 1)
0 Komentar

Oleh: 1.Agus Prasmono, M.Pd.

(Kepala SMAN 1 Parang Magetan Jawa Timur)

2.Drs.Priyono,MSi ( Dosen senior pada Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Berita tentang sekolah (terutama sekolah negeri) kekurangan peserta didik cukup memberi warna pada PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) tahun 2023/2024 dan tahun sebelumnya. Mereka yang diterima tentunya akan berkomentar dengan baik dan positif sebaliknya yang tidak diterima akan mengkritisi sampai habis aturan yang ada dalam PPDB yang mendasarkan pada Permendikbud nomor 1 tahun 2021 dimana porsi terbanyak diterima lewat jalur zonasi tersebut.

Dimulai dari tingkat TK (Taman Kanak-kanak) ternyata jumlah sekolah TK-pun sudah  terlalu banyak dibanding anak usia TK yang harus sekolah sendiri. Telah terjadi pergeseran akibat perubahan di komposisi umur penduduk, bisa jadi keberhasilan keluarga berencana beberapa tahun lalu yang menyebabkan pertumbuhan penduduk mengalami penurunan serta pergeseran dalam struktur umur. Pergeseran juga terjadi dalam hal orintasi memilih sekolah, bergeser ke sekolah berbasis agama di bawah Departemen Agama.  Studi kasus di kabupaten Ponorogo menunjukkan  bahwa jumlah TK (TK, RA, BA, TA) se Ponorogo sejumlah 456 Lembaga, sementara calon siswanya ada 6.877 calon siswa. Kondisi ini setiap tahun terus mengalami penurunan jumlah siswanya,sehingga  dibuat rata-rata (average) setiap TK hanya mendapat bagian 15 siswa. Demikian juga dengan jumlah SD, se Ponorogo ada 577 Satuan Pendidikan dengan pagu mestinya ada 17.584 siswa yang bisa ditampung, namun ternyata yang bersekolah ke SD pada tahun 2023/2024 ini hanya ada 7261 peserta didik baru atau kalau dirata-rata hanya 12,5 siswa setiap SD-nya atau hanya sekitar 41% dari pagu yang tersedia. Lebih parah lagi hanya ada 15 SD yang pagunya terpenuhi secara utuh sebaliknya ada 4 SD yang sama sekali tidak memperoleh pendaftar siswa baru alias kosong. Sehingga  beberapa waktu lalu sampai viral ada seorang ibu Kepala SD yang menangis karena sekolahnya tidak ada yang daftar.

Baca Juga:Peta Suara Prabowo Saat Pilpres 2014 dan 2019 di Subang, Tugas Menantang Empat Parpol Menangkan Pilpres 2024Sejumlah Fasilitas Transportasi Publik di Karawang Tak Terawat

Ditingkat SD, banyak yang tidak mendapat siswa bahkan di beberapa daerah lebih dari separo SD negeri kekurangan siswa. Hal ini tentunya ironis jika dibandingkan dengan Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD tetapi di bawah naungan Kemenag), yang dulu tidak ada muridnya sekarang sebagian mulai membludak sehingga sulit untuk menolak siswa baru yang daftar. Juga tidak adanya sinkronisasi antara Kemendikbudristek yang membawahi sekolah umum dengan Kemenag yang membawahi Madrasah dalam aturan main PPDB. Masing-masing mempunyai aturan sendiri-sendiri maka terjadilah “perang urat syarat” antara Sekolah Umum dengan Madrasah. Memang belakangan ada fenomena masyarakat semakin banyak yang mempercayakan pendidikan anak-anaknya kepada Madrasah. Belum lagi pembukaan Madrasah baru yang terus dibuka krannya oleh Kantor Kementerian Agama setempat, sehingga jumlah Madrasah juga semakin banyak, walaupun jumlah sekolah umum masih jauh lebih banyak dibanding madrasah.

0 Komentar