Indonesia memiliki beragam kendaraan umum. Masyarakat bisa memilih kendaraan yang cocok untuk dinaiki. Tetapi ada beberapa kendaraan yang sudah mulai sulit dijumpai, salah satunya adalah becak.
Pasundan Ekspres menemui salah satu penarik becak di Kabupaten Subang, Aming (64) di Perempatan Soklat, pada Selasa (15/8). Ia menceritakan bagaimana perjalan hidupnya sebagai penarik becak di zaman modern ini.
Aming mengaku sudah menarik becak sejak tahun 1982. Awal ia memutuskan menjadi tukang becak karena ingin menikah dan tidak punya pekerjaan. Pada saat itu becak masih laris manis. Ramai masyarakat masih menggunakan transportasi itu.
Baca Juga:Sungai Cilamaya Dibiarkan Menghitam, Implementasi Pergub Belum RealisasiKonsep Unik, Das Kopi Berbagi Dengan Sesama Bayar Seikhlasnya
“Waktu itu masih banyak orang yang menggunakan becak, tidak seperti sekarang. Mungkin karena sudah banyak yang punya motor sendiri atau banyak yang pakai online, yang narik (becak) juga semakin berkurang, ” ucapnya.
Aming bilang, dulu banyak temannya yang menarik becak dan biasa ‘mangkal’ bersama, tapi sekarang teman-temannya sudah tidak menarik becak dan beralih ke pekerjaan lain.
Memang perkembangan zaman saat ini yang serba digital, hampir dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Hal ini menyebabkan masyarakat lebih memilih menggunakan jasa layanan online untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk transportasi online.
Aming juga menjelaskan, keadaannya sekarang sangat sulit. Hingga Selasa siang saja, Aming hanya memperoleh satu penumpang dengan upah sebesar Rp10.000.
“Sekarang keadaannya sulit sekali bagi saya, saya punya dua anak perempuan semua. Salah satunya sudah meninggal dan kelima anaknya saya dan istri yang besarkan, karena mereka semua yatim piatu. Setiap hari saya yang memutar otak untuk menafkahi mereka,” jelasnya.
“Sulit sekali mendapatkan penumpang, sekarang yang mau naik becak biasanya ibu-ibu yang mau ke pasar atau yang mau diantar ke puskesmas,” ucapnya.
Meski demikian, dia bersikukuh menjalankan profesinya itu. Menurutnya tidak ada pilihan lain selain menjadi tukang becak, karena itulah satu-satunya yang ia bisa lakukan untuk menghidupi keluarganya.
“Kalau saya punya minimal motor, mungkin saya bisa saja ngojek, tapi kan tidak,” ucapnya.
Baca Juga:SDIT Ibnu Khaldun Cetak Siswa BerkarakterMembangun Generasi Sadar Lingkungan melalui Sekolah Adiwiyata
Semenjak tahun 1982 sampai sekarang ia sudah mengganti becaknya sebanyak empat kali.(fsh/ysp)