Pepatah ini menjelaskan bahwa saat kita sedang mengerjakan sesuatu sebaiknya dilakukan dengan penuh kehati-hatian sehingga dapat berhasil dengan baik dan tidak akan merusak yang lain.
- Rasodibao naiak, pareso dibao turun. Raso dari ati ka kapalo, pareso dari kapalo ka alam nyato (Rasa dibawa naik, perasa dibawa turun. Rasa dari hati ke kepala, perasa dari kepala ke alam nyata)
Maksudnya, seseorang dalam berbuat hendaknya mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang terjadi (positif dan negatif)
Dalam tataran praktis. Masyarakat Minangkabau sangat peka terhadap perasaan orang lain.
Baca Juga:5 TAHUN RINDU, Hari Jadi ke-78 Jabar, Momen Resmi Terakhir Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul UlumPojokan 165, Merdeka
Misalnya, kalau berbenturan alek baiak (pesta baik), seperti pernikahan, khitanan dengan alek buruak (pesta buruk/duka), seperti kematian, rumah terbakar, dan sebagainya.
Maka si alek baik berpandai-pandai menyesuaikan, agar pesta tidak terlalu mencolok atau mengganggu tetangga yang mendapat musibah (alek buruak).
Seandainya, ada hiburan (orgen tunggal/rabab) di rumah si alek baik.
Dengan penuh kesadaran dan keikhlasan si alek baiak membatalkan hiburan tersebut. Walau menanggung rugi secara finansial. Hal ini sebagai bentuk empati terhadap tetangga yang ditimpa musibah.
Pada masyarakat Minangkabau dalam konteks ini dikenal dengan ungkapan hati nan ibo, muko nan sabak (hati yang berduka, dan wajah yang sedih).
Kearifan lokal yang menjunjung tinggi nilai kepekaan sosial yang ada di masyarakat, perlu dilestarikan dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Pemimpin yang telah diberikan amanah.
Mereka harus mampu memberikan tauladan yang baik. Agar kepekaan sosial itu terpatri di dalam jiwa pemimpin dan yang dipimpin.
Tidak sebatas slogan, indah tertulis dalam untaian kata-kata.
Baca Juga:Daftar Harga Kulkas LG 2 Pintu, Yakin Ga Mau Beli?5 Daftar Harga Paket XL Tahun 2023, Murah Bingits!
Tapi, miskin dalam aksi nyata. Jangan menari di atas penderitaan orang lain, jangan berbahagia di atas kesedihan orang lain.
Jangan dibiarkan kepekaan sosial itu tererosi oleh ulah oknum dungu dan yang tidak menggunakan nalar dan rasa.
Sehingga, tanpa merasa bersalah mereka berjoget bersama, tertawa bersama di atas penderitaan dan deraian air mata rakyatnya.
Mudah-mudahan Allah swt tidak menutup mata. Allah menghadirkan suatu saat nanti pemimpin-pemimpin yang peka terhadap penderitaan dan jeritan rakyatnya. Ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun. (Ke bukit sama mendaki, ke jurang sama menurun. Pemimpin yang mampu berbagi di kala bahagia. Pemimpin yang merasakan kesedihan di kala duka. Itulah tipikal pemimpin sejati yang ditunggu. In Sya Allah. (Yudi Septawardana, M.A1)