Menjadi penyeimbang kekuasaan eksekutif dengan pengawasan dari kaum Yudikatif.
Walau tak jarang terjadi kolaborasi menggerogoti kekayaan negara yang menjadi milik rakyat.
Kekayaan rakyat dititipkan untuk dikelola dengan baik oleh negara. Dimana salah satu unsur pengelola tersebut adalah anggota terhormat trias politica.
Untuk mewujudkan kepemilikan kursi di legislatief dan eksekutif, wajah-wajah yang tertempel di pohon ini dipastikan mewakili parpol.
Baca Juga:Ketika Pilihan itu Ada: Pronasa atau Karang TarunaSepucuk Surat Cinta untuk Kang Emil
Dan biasanya akan lebih takut kepada ketua parpolnya dibanding kepada pemilihnya. Loyalitas total!
Sebab loyalitas anggota yang duduk di kursi legislative, akan mengantarkan parpolnya untuk meraih kekuasaan.
Dan inilah pertarungan sebenarnya.
Pertarungan merebutkan kekuasaan tertinggi untuk mengelola negara.
LIHAT JUGA: Pojokan 163, Nizar-Zakir-Rahman
Tak jarang, untuk meraih kekuasaan menggunakan senjata tribalisme-semangat kesukuan-golongan dan politisasi identitas. Entah identitas kesukuan, agama, paham, pilihan politik dan sematan sosiologis lainnya.
Memanfaatkan naluri identifikasi sosiologis setiap orang untuk meleburkan diri pada kelompok yang sesuai dengan kecendrungannya. Atau juga sengaja menawarkan dan menarik simpatisan dari bermacam identitas yang ditawarkan.
Sehingga semangat tribe terbangun (in group). Melahirkan sikap intoleran karena melihat yang lain bukan kelompoknya (out group)
Bermodal produksi narasi yang mengejar hiperrealitas dimedia sosial. Menampilkan narasi yang memframing sesuatu yang tak sebenarnya, menjadi seolah kebenaran.
Narasi yang tak sebenarnya yang direpost berkali-kali dimedia sosial, akan menjadi sesuatu yang dianggap benar.
Baca Juga:Wagub Uu Ruzhanul Dampingi Wapres Resmikan Masjid Syarief AbdurachmanTren Investasi di Kawasan Arumanis Jabar Selatan Meningkat
Itulah simulacra, dunia maya yang menjadi dunia nyata, dunia nyata hanya menjadi aksesoris dunia maya.
Melahirkan posttruth bercucu hoaxs.
Pertarungan kekuasaan ini tak lepas dari produksi simulacra-hoaxs.
Aksesoris utamanya adalah semangat tribalisme dengan senjata politisasi identitas. Semua untuk menarik dukungan dan meraih kekuasaan.
Menariknya, untuk meraih kekuasaan itu, semua kontestan, pasti menjual jargon “berjuang untuk kepentingan rakyat”.
Entah rakyat yang mana? (Kang Marbawi, 26.08.23)