Sebagai sebuah program, tentunya Pronasa tidak imun untuk dikritik. Teks-teks suci umat saja, tidak lepas dari kritikan. Dibutuhkan kritik-kritik konstruktif, baik dari segi teoritis maupun aplikasi di lapangan. Bukankah Alquran membuka ruang untuk berdebat (jadal) secara santun dan humanis. (QS. al-Nahl/16: 125). Warna perdebatan intelektual akan dihiasi pertanyaan dan jawaban yang berkelas, jauh dari kedunguan pemikiran. Di antara pertanyaan yang perlu dijelaskan agar tidak gagal paham dan salah implementasi, sebagai berikut:
- Peran masyarakat dan pemerintahan nagari.
Peran keduanya sangat penting. Karena pelaksanaannya di lingkungan masyarakat. Jika tidak, term Pronasa kurang relevan. Tepatnya diganti menjadi Prosena (Program Sekolah di Nagari). Artinya, kegiatan sekolah yang dialihkan kepada masyarakat. Jika tetap dipertahankan term Pronasa, maka fasilitas yang dibutuhkan untuk kegiatan yang memfasilitasi bakat dan minat siswa harus disediakan oleh masyarakat atau pemerintah nagari. Misalnya, fasilitas dalam bidang olahraga; lapangan sepak bola, voli, basket, dan sebagainya. Beberapa nagari sebagian fasilitas itu telah tersedia. Bagaimana nagari yang belum?
- Wilayah yang tidak memiliki GTK
Pronasa di wilayah yang tidak ada guru dan tenaga pendidik yang berdomisili di sana? Tentunya ini bisa menjadi dilema? Jika guru diminta datang kesana, misalnya mendampingi magrib mengaji atau subuh berjamaah. Tentunya menjadi beban bagi yang bersangkutan. Alasan-alasan logik akan bermunculan dan mengemuka.
Baca Juga:Sepucuk Surat Cinta untuk Kang EmilWagub Uu Ruzhanul Dampingi Wapres Resmikan Masjid Syarief Abdurachman
- Beban bagi siswa tingkat Sekolah Dasar (SD)
Sebagian pelajar setingkat SD biasanya siang hari telah mengikuti kegiatan tahfizh atau mengaji. Melalui Pronasa, magrib mengaji siswa diminta kembali mengaji. Apakah siswa nanti tidak jenuh? Kapan mereka menyelesaikan tugas-tugas di sekolah? Kapan mereka bermain dan bercanda dengan orang tua?