Tak lama berselang suara ikamah shalat asar terdengar. Kami bergegas menuju shaf terdepan. Amat disayangkan, niat tak kesampaian. Shaf terdepan sudah dipenuhi oleh jamaah yang datang duluan. Tak apa-apa saya bukan pejabat, hanya rakyat biasa. Biasanya, seperti di Masjid Istiqlal Jakarta saat shalat hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Shaf terdepan dikosongkan untuk sang pejabat. Walaupun yang bersangkutan terlambat datang.
Kang apakah saat shalat Id pengaturan saf di Masjid al-Jabbar sama dengan Masjid Istiqlal? Mudah-mudahan prinsip egaliter tegak di Masjid al-Jabbar. Karena Allah pun tidak memandang manusia berdasarkan jabatan yang disandang. Semestinya, yang datang duluan ia berhak shalat di saf terdepan, sepanjang tidak melanggar norma agama.
Ketika imam akan memulai takbir. Ada pemandangan yang mengganjal di hati. Di saf terdepan berdiri 2 orang anak kecil yang belum baligh (satu orang kira-kira berusia kurang 5 tahun). Posisinya sebelah kiri imam, berdiri di antara jamaah dewasa. Sayangnya sang imam tidak menyuruh pindah ke saf belakang. Entah karena segan pada orang tua si anak? Atau karena faktor yang lain, saya tidak tahu.
Baca Juga:Wagub Uu Ruzhanul Dampingi Wapres Resmikan Masjid Syarief AbdurachmanTren Investasi di Kawasan Arumanis Jabar Selatan Meningkat
Sepengetahuan saya, anak yang belum balig dapat memutus saf shalat berjamaah. Sebagaimana Ustadz Abdus Shomad juga sering mengingatkan dalam ceramahnya. Menurut ustadz yang biasa disapa UAS ini, menjelaskan bahwa anak belum balig dapat memutus saf karena belum bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk serta berpotensi mengganggu jamaah lainnya.
Maaf Kang, besar harapan saya, agar masalah lebih prinsip seperti pengaturan saf shalat mendapatkan perhatian dari pengelola masjid. Masalah itu, menurut hemat saya lebih urgen ketimbang mengatur alas kaki. Karena berpengaruh pada kualitas ibadah shalat berjamaah.
Kang di Masjid al-Jabbar saya merasakan Bhineka Tunggal Ika, terawat dan terjaga. Saya kira “Sunda Sentris”. Ternyata tidak! Terbukti ada petugas laki-laki yang berasal dari suku berbeda, seperti Suku Minang asal Pariaman. Biasanya, kami memanggilnya dengan panggilan, Ajo. Manfaat kebhinekaan itu langsung kami rasakan. Ketika salah seorang rombongan kami “Mak Limah” hilang. Kemampuan Bahasa Indonesia beliau, kurang baik. Lebih 1 jam kami mencari ke seluruh sisi masjid di dalam maupun di luar. Dipanggil melalui pengeras suara pun sudah dilakukan, Mak Limah juga tidak muncul. Akhirnya, berkat Ajo dengan modal bahasa Minang yang fasih, Mak Limah ditemukan dalam keadaan sehat tak kurang satupun. Alhamdulillah!