Wujudkan Kemandirian Industri Bahan Baku Obat Nasional
SUBANG-Seorang peneliti di Kementerian Pertanian dan menjabat sebagai Analis Standardisasi di Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Padi (BBPSI Padi) Sumanadi, Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang menciptakan inovasi bekatul padi menjadi bubuk fenolik.
Peneliti tersebut bernama Dr. Zahara Mardiah, S.TP., M.Sc. Ia merupakan lulusan S1 Teknologi Hasil Pertanian di Universitas Sriwijaya (2005), S2 Food Technologi di Wageningen University, Belanda (2014) dan S3 Teknik Kimia di ITB (2023).
Alasan dirinya menciptakan inovasi tersebut mengingat bahwa negara Indonesia merupakan negara produsen padi terbesar ketiga di dunia, dengan produksi padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG) mencapai 54,7 juta ton/tahun.
Baca Juga:Yang Dinanti-nanti Akhirnya Direalisasikan, PNS Subang Senang Gaji Naik 8 PersenPemerintah Wacanakan Bakal Lunasi Pinjaman Pelaku UMKM
“Proses pengolahan GKG menjadi beras giling/beras putih menghasilkan produk samping, salah satunya adalah bekatul dengan jumlah berkisar 5,4 juta ton/tahun,” terangnya kepada Pasundan Ekspres.
Menurutnya, bekatul di Indonesia masih minim pemanfaatannya, umumnya hanya dijual sebagai pakan ternak dengan harga murah berkisar 4-6 ribu per kilogram.
Padahal, kata Zahara, bekatul mengandung banyak sekali nutrisi. Salah satu nutrisi pada bekatul adalah zat fenolik yang jumlahnya sangat tinggi mencapai 86000 ppm.
“Zat fenolik dari bekatul bisa diambil dan dibuat menjadi bubuk fenolik untuk kemudian digunakan/ditambahkan dalam produk makanan atau minuman agar nilai nutrisi produk menjadi meningkat,” jelasnya.
Ia mengatakan, harga bubuk fenolik di pasar dunia berkisar 350-600 ribu per kilogram. Pasar fenolik terus berkembang secara global hingga mencapai nilai USD 1,6 triliun pada tahun 2021 dan diperkirakan akan tumbuh pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan sebesar 7,4% dari tahun 2022 hingga 2030 ((GRV), 2021).
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan lebih dari 90 persen bahan baku yang digunakan industri farmasi, termasuk fenolik, masih bergantung pada impor. Data dari The Observatory of Economic Complexity (OEC) menunjukkan bahwa nilai impor fenolik Indonesia mencapai 11,1 juta USD, sedangkan ekspor fenolik Indonesia hanya 23,4 ribu USD (OEC, 2021). Sehingga terjadi defisit perdagangan fenolik sebesar -11 juta USD.
“Upaya solutif perlu untuk dilakukan dalam mendukung Permenkes No.17 Tahun 2017 mengenai kemandirian bahan baku obat. Kementerian Perindustrian mendorong pemanfaatan sumber daya lokal sebagai bahan baku industri farmasi di dalam negeri untuk memacu substitusi impor dan mewujudkan kemandirian industri bahan baku obat nasional,” ungkapnya.