Perizinan jadi kata kunci, karena dalam diktum itu kegiatan kampanye harus mendapat ijin dari penanggungjawab sekolah/perguruan tingggi yang bersangkutan (Kepala Sekolah atau Rektor) untuk kampanye di sekolah. Kepala Sekolah bisa merasa tidak nyaman ketika harus memberikan ijin untuk kampanye parpol, namun ketika undang-undang mengisyaratkan begitu tentunya Kepala Sekolah tidak akan berkutik metika dimintai hal tersebut oleh parpol maupun kontestan Pilkada. Memang masih dalam diktum tersebut diisyaratkan tidak boleh membawa atribut parpol, tetapi tanpa atribut rasanya tidak mungkin walau sekedar keseragaman baju kebangggaan partainya. Namun kalau ini terjadi bisa mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap sekolah atau Kepala Sekolahnya sehingga dianggab tidak netral terhadap perserta Politik atau Kontestan tertentu, karena banyak yang dianggap netral oleh parpol ketika seseorang memilih parpolnya. Masyarakat Indonesia masih sering menganggab Parpol itu sebagai agama kedua bahkan pertama yang harus diikuti sampai titik darah penghabisan walaupun pemimpin Parpolnya damai-damai juga bahkan sering ganti baju dengan parpol yang lain ketika sebuah parpol sudah tidak menguntungkan baginya.
Kedua adalah ketika siswa sudah dicekoki dengan idiologi partai tertentu sejak dini, dikawatirkan pandangan politik hanya sepihak dan itulah yang dianggab terbaik ketika mendengar secara langsung dari kontestan pemilu. Bahkan tidak jarang sang kontestan memang ahli bicara, macan panggung sehingga bukan bersihnya politik yang ditawarkan tetapi adalah sisi kelam politik yang dibungkus dengan indahnya kalimat yang keluar dari mulut jubur. Kalau ini terjadi, maka semakin buruk dampak pembangunan politik di negeri ini. Politik mestinya disampaikan kebaikannnya dalam rangka membangun tatanan demokrasi yang baik, sebaliknya bukan menjadi penanam dokma yang berdampak negatif terhadap perkembangan pengetahuan dan keyakinan siswa.
Ketiga adalah menjaga kenetralan ASN dalam politik praktis, bahwa ASN harus netral dalam pemilihan apapun. Namun ketika mengijinkan sekolahnya untuk kampanye sementara ada pihak lain yang tidak mengajukan kampanye di sekolah itu karena dianggab kurang kemanfaatannya atau alasan lain bagi Parpol tertentu, maka persepsi Kepala Sekolah ikut berpolitik praktis sangat mungkin terjadi. Kalau hal ini terjadi maka Kepala Sekolah yang bersangkutan bisa dianggab bersalah walaupun dia memberi kesempatan kepada parpol itu sebenarnya atas dasar pemintaan parpol sendiri sementara tidak semua parpol mengajukan untuk tempat kampanye. Maka dari pada timbul persepsi yang berbeda-beda, lebih baik Kepala sekolah tidak mengijinkan Sekolahnya untuk berkampanye. Namun kalau tidak mengijinkan dianggab tidak mendukung pengembangan demokrasi. Ini juga menjadi buah simalakama.