Ulasan ini tak mengikuti bermaksud filsuf Austria, Ludwig Wittegenstein yang berpendapat bahwa bahasa lahir dari konteks.
Dan konteks menurut Ludwig adalah permainan bahasa (language games). Sebab bahasa menggunakan kata-kata sebagai simbol pengantar.
Yang pasti, makna suatu kata baik yang dipantat mobil truk atau yang menjadi core values atau update profil seseorang di medsos nya tidak sekedar lahir dari konteks (kerja kerasnya kehidupan supir, kepentingan perusahaan, atau galaunya hati natizen).
LIHAT JUGA: Pojokan 165, Merdeka
Baca Juga:Download Teks Ratib Al-Haddad, Raih Kedahsyatan Manfaatnya!2 Cara Kirim WA Tanpa Nomor Disimpan Terlebih Dahulu, Bisa Donk Dengan Cara Ini
Tetapi kata hadir dari penggunanya. Disini pengguna kata menentukan makna dari kata itu.
Maka pantas, ada kaya yang tak sama maknanya walau sama pengucapannya. Atau ada kata yang diplintir, atau yang dimanipulasi, menyebabkan konflik.
Disinilah kata memiliki makna yang kondisinional, bergentung kepada maksud pengguna dan suasana batin yang melingkupinya. Kata adalah simbolik.
Tak jarang pula, kata itu memberikan beban. Entah kata apa dan datang dari mana. Kata yang seperti ini menjadikan gerak hidup menjadi mampet, melambat dan stagnan.
Pantas juga jika menggunakan kata “Orang yang banyak kebutuhan banyak ketergantungan” atau “Kecukupan adalah tak banyak kebutuhan”.
Pada akhirnya, kata mana yang akan menjadi penggerak diri kita, kitalah yang menentukan.
Sebab kata-kata kita, yang bisa mengubah apa yang ada di depan dan bisa jadi dunia.
Atau tak mengubah apapun, karena kata-kata kita tak sakti.
Tak sakti karena tak diyakini dan tak diamali. (Kang Marbawi, 07.09.23)