Pendidikan: Politisi dan Profesional

Pendidikan: Politisi dan Profesional
0 Komentar

PENGELOLAAN sebuah negara dilakukan oleh dua unsur penting dalam struktur negara demokratis yaitu profesional/birokratis dan politisi.

Untuk menjadi profesional dilakukan suatu proses yang panjang dan bertingkat. Untuk menjadi guru profesional saja perlu syarat ijazah S1 dan harus ikut PPG atau harus tersertifikasi.

Tapi aneh bin ajaib untuk menjadi politisi tak sesulit itu padahal kekuasaan politisi jauh melebihi jabatan profesional.

Baca Juga:Hujan Deras, Warga Ciater Akhirnya Bernapas Lega Setelah Kekeringan PanjangSemarak Peringatan HUT ke-390 Karawang, Kelurahan Karawang Wetan Gelar Jalan Santai dan Senam Aerobik

Seorang birokrat yang telah menempuh karir puluhan tahun dapat digeser dan dipindah oleh anak kemaren sore yang jadi bupati atau kepala daerah.

Pendidikan politik sejatinya menjadi acuan bagi jabatan politik agar Politisi mengetahui tujuan dan proses meraih tujuan.

Fenomena anak atau istri politisi jadi politisi bukan saja melanggar etika bernegara tapi melanggar akal sehat. Para politisi berdalih tidak ada aturan yang dilanggar.

Ya, memang aturan dibuat selama ini tidak didasarkan pada aturan akal sehat. Aturan yang selama ini dibuat hanya berdasarkan hasrat kekuasaan.

Pertanyaannya apa salahnya seorang anak atau istri bupati, anak gubernur, atau anak presiden juga menjadi pengganti ayahnya atau suaminya?

Beberapa kasus terjadi seperti di Purwakarta, Anne dipilih oleh KDM karena Anne isterinya, padahal secara faktual Anne tidak atau belum memiliki prestasi ketika akan dicalonkan.

Begitupun anaknya KDM dipilih jadi Ketua DPD Golkar Purwakarta, karena prestasi ayahnya bukan prestasi anaknya. Dan banyak lagi kasus lain yang jauh lebih parah dan menghawatirkan.

Baca Juga:Tridjaya Motor Kini Hadir di Pusakaratu PusakanagaraNasi Timbel Telkom Menjadi Tempat Makan Pilihan Karyawan

Purwakarta selama ini terasa dalam atmosphere KDM dan keluarganya. Padahal kita telah sama-sama sepakat bahwa kita hidup dalam sebuah negara demokratis Pancasila, dan bukan hidup di era kerajaan yang otoriter.

Dalam sebuah negara demokratis siapapun berhak untuk dipilih dan memilih tapi harus sesuai dengan aturan permainan yang telah disepakati dan sesuai dengan etika dan norma dalam naungan negara Pancasila.

Sekarang kita saksikan apa yang terjadi di Purwakarta? Perceraiaan yang sejatinya menjadi domain private berdampak publik.

Demikian pun ketika KDM memiliki masalah dengan PP Golkar berdampak pada kepemimpinan Golkar di Kabupaten Purwakarta.

0 Komentar