PASUNDAN EKSPRES – Sebuah studi terbaru mengungkap bahwa mahalnya harga obat tidak selalu mencerminkan tingkat kualitasnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Systematic Tracking of At-Risk Medicines (STARmeds) mengungkap fakta mengejutkan ini.
Dari 1.274 sampel obat yang diteliti, hampir sepertiga di antaranya memiliki harga 10 kali lipat lebih mahal dibandingkan produk sejenis yang harganya paling murah. Namun, kualitasnya tetap sama.
Baca Juga:Prakiraan Cuaca Wilayah Jawa Barat, 5 Oktober 2023Ramalan Zodiak 5 Oktober 2023: Sagitarius, Jangan Takabur
Co-Principal Investigator of STARmeds, Prof Dr apt Yusi Anggriani MKes, menjelaskan bahwa penelitian ini dilakukan sebagai respons terhadap pertanyaan masyarakat dan media mengenai kualitas obat yang memiliki harga murah atau bahkan gratis.
“Kami tertarik untuk melihat apakah harga obat akan selalu sebanding dengan kualitasnya,” ujar Yusi dalam keterangan pers yang diterima oleh Health Liputan6.com pada Kamis, 5 Oktober 2023.
Sampel obat diambil dari lima jenis obat, termasuk antibiotik, obat asam urat, obat tekanan darah tinggi, dan steroid.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir sepertiga sampel obat memiliki kualitas serupa, meskipun perbedaan harganya mencapai lebih dari 10 kali lipat.
Penemuan lainnya adalah bahwa 10 persen sampel obat memiliki kualitas yang sama dengan obat termurah, meskipun perbedaan harganya mencapai 30 kali lipat.
Namun, temuan yang paling mengkhawatirkan adalah tingkat kegagalan pengujian obat. Menurut Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes, mahalnya harga obat tidak selalu sejalan dengan kualitasnya, terutama pada antibiotik.
Prevalensi kegagalan pengujian untuk antibiotik dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan obat-obatan lainnya.
Baca Juga:Lokasi Jual Beli Uang Koin Kuno, 1 Koin Seharga 2 Motor NMax!Link Nonton Tokyo Revengers Season 3 Sub Indo, Geng Misterius Asal Yokohama Mulai Beraksi
Kegagalan pengujian disolusi, yang mengukur kecepatan pelepasan zat aktif dari obat, merupakan hal yang sangat mengkhawatirkan.
“Jika obat antibiotik tidak melepaskan cukup bahan aktif ke aliran darah pasien, mereka mungkin hanya membunuh bakteri yang rentan tetapi tidak membunuh bakteri resisten yang dapat mengakibatkan penyebaran infeksi yang resisten,” ujar Yusi.
Selain itu, studi ini juga mengungkap adanya obat palsu. Dalam penelitian ini, 21 obat palsu ditemukan, sebagian besar dibeli dari penjual tidak resmi di toko online.
Yusi menekankan pentingnya sistem data informasi obat yang terkoneksi antara lembaga pemerintah terkait sebagai langkah untuk memastikan obat-obatan yang beredar aman dan berkualitas.