Filosofi tentang “Kelas Tiga Dinding” ternyata begitu penting. Konsep pendidikan selama ini lebih menekankan pada penguasaan pengetahuan belum banyak menyentuh realita kehidupan di masyarakat. Empat sekat (dinding) tempat para peserta didik dan guru melakukan proses pembelajaran membuat cara berpikir kita terlalu teoritis dan kurang bisa menyesuaikan dengan dunia nyata. Konsep pendidikan yang kurang memperhatikan realita atau kehidupan nyata membuahkan lulusan yang kurang kompetitif. Kita bisa melihat bahwa banyak lulusan perguruan tinggi ketika ia kembali ke masyarakat, tidak bisa berbuat banyak. Hal ini dikarenakan selama ini mereka hanya mendapatkan teori saja tanpa diimbangi dengan praktik nyata di masyarakat.
“Konsep Kelas Tiga Dinding” yang diajarkan Ki Hajar Dewantara tentu menjadi relevan untuk diterapkan saat ini. Melalui “Konsep Tiga Dinding” tersebut seorang guru juga dituntut untuk lebih memahami suatu bidang ilmu sebelum mereka mengajarkan pada peserta didiknya. Mereka tidak hanya menggantungkan diri pada diktat (buku bahan ajaran), tetapi juga dituntut kreativitasnya agar bisa menerapkannya di dunia nyata. Dengan demikian, pendidikan akan terasa lebih nikmat dan menyenangkan. Yang terpenting dari semua itu, institusi pendidikan, yang menerapkan konsep tersebut, bisa menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berguna bagi masyarakat serta tidak hanya sekedar mengandalkan teori.
Sekolah sebaiknya tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga kemampuan lainnya. Sehingga, anak tidak hanya pandai secara akademik, tetapi juga mampu menerapkan ilmunya tersebut. Bentuk konsep tiga dinding ini bisa diterjemahkan dengan berbagai kegiatan belajar yang memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar dan pembelajaran kontekstual, dimana peserta didik mengalami proses pembelajaran secara langsung. Kegiatan pembelajaran di luar ruangan akan membantu peserta didik belajar mengenali isu-isu terkini dan mencari solusi tentang masalah yang ada di sekitarnya. Sekolah juga bisa mengadakan kegiatan tambahan di luar sekolah seperti outbond dan karya wisata ke berbagai tempat. Tentu saja, kegiatan-kegiatan tambahan itu dikemas dengan nilai-nilai edukatif.
Baca Juga:Pembangunan Berkelanjutan: Penyelamat Generasi yang Akan DatangPerlukah Guru Mengikuti Kegiatan MGMP?
Konsep “Kelas Tiga Dinding” saat ini sudah mulai diterapkan di sekolah-sekolah dari PAUD sampai perguruan tinggi. Pada implementasi kurikulum merdeka saat ini kegiatan pembelajaran dibagi menjadi 80% pembelajaran kokulikuler dan 20% pembelajaran berbasis projek atau dikenal dengan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Dalam kegiatan P5 peserta didik akan belajar dan melakukan praktik langsung dengan bimbingan guru. P5 lebih menekankan pada pembelajaran kontektusl dimana peserta didik dapat mengimplementasikan pengetahuannya dalam lingkungan sekolah dan masyarakat di sekitarnya. P5 dilaksanakan secara berkelompok sehingga peserta didik sedari dini belajar berkolaborasi dan saling menghargai. Harapannya konsep “Kelas Tiga Dinding” dari Ki Hajar Dewantara yang diterjemahkan dalam konsep kurikulum merdeka benar-benar mampu mempersiapkan generasi emas Indonesia di masa depan.