PASUNDAN EKSPRES – Kalau mengingat kebutuhan yang banyak, uang di amplop Rp. 5 juta itu, sangat membantu.
Apalagi sudah dekat deadline segala tagihan cicilan yang berjibun diakhir dan awal bulan yang harus segera dibayar.
Bahkan angka tagihannya melebihi jumlah lembaran yang diamplop putih persegi panjang yang diselipkan dalam map kecil berlogo.
Baca Juga:Pojokan 172, Nama AsliResmikan Plant Pertama di Indonesia, Kementerian ESDM: PLN Miliki Cara Paling Cepat Hasilkan Green Hydrogen
Belum kebutuhan harian yang juga merengek di awal hari dan di ujung malam, minta dipenuhi.
Angka Rp. 5 juta hanya taksiran saya saja. Bisa jadi lebih, karena cukup tebal ketika diraba.
Saya tak berani menghitungnya. Hawatir arus godaannya semakin besar dan bisikan “sayang” dan “lumayan” akan menyeruak dihati, untuk menerima saja amplop itu.
Terjadi gejolak di hati. Seperti ada dua kelompok yang bertarung, nurani vs kebutuhan-akal pragmatis.
Saya cukup lama untuk menyaksikan peperangan di kuru setra hati dan pikiran.
Mewujud kegelisahan batin-nurani. Menghempaskan jiwa di pojok ketakutan dan keserakahan.
Merebutkan godaan antara diterima untuk memenuhi kebutuhan dan tak menerima. Inilah perang badar dan musuh sebenarnya.
“Bahkan dewa pun bisa disuap” kata Aristoteles.
Seperti Alcmaeonid yang kaya, menyuap Dewa Apollo untuk membangun kembali Kuil Apollo dengan “marmer Parian”, yang hancur akibat gempa bumi.
Baca Juga:Pojokan 171, TegakLurusANTI PELAKOR! Simak Cara Menyadap WA Suami dengan Nomor Hp Terupdate
Ditukar dengan dukungan Pythia -pendeta tinggi Apollo, meyakinkan Bangsa Sparta membantu Alcmaeonid untuk menaklukkan dan memerintah Athena.
Selalu ada perantara antara para dewa dan kelompok kepentingan.
Tak ubahnya makelar motor atau tanah yang selalu menawarkan komoditi untuk menangguk keuntungan pun mendorong kehancuran.
Terjungkal dari maqom “fi ahsana taqwim” (tempat terhormat nan mulia) menuju “asfala syafilin” (kehancuran terendah bin kerak kehinaan). Makelar yang menawarkan keuntungan dan daging hidup.
Pada waktu perang kuru setra di hati itu, saya tak berpikir soal sabda dari lembaga anti rasuah (Komisi Pemberantasan Korupsi) KPK, soal gratifikasi.
Justru yang menjadi perebutan di kuru setra itu adalah kebutuhan hidup dan kepantasan.
Saya biasa menerima bingkisan “luring” dan “daring” (bergantung cara panitia, ngamplopi) ketika saya menjadi narasumber. Dan itu halalan thoiyiban.