Nah beselan “luring” yang saya terima itu, tak berkaitan dengan posisi saya sebagai narasumber atau yang dilegalkan. Justru saya diberi parsel itu, karena posisi sebagai juri sebuah event.
Dan pemberinya berkaitan dengan hal penjurian. Bisa jadi sang pemberi tak bermaksud untuk menyuap.
“Hanya tanda terimakasih dan untuk makan saja”, mungkin itu kata pemberi.
Baca Juga:Pojokan 172, Nama AsliResmikan Plant Pertama di Indonesia, Kementerian ESDM: PLN Miliki Cara Paling Cepat Hasilkan Green Hydrogen
Bagaimana dengan kado “luring” yang terjadi diberbagai instansi dan lembaga yang jumlahnya fantastis-selangit jumlahnya.
Sungguh saya pun tak menjamin akan bisa memenangkan dalam perang kuru setra nurani, ketika berhadapan dengan angka yang dahsyat. Angka Rp. 5 juta saja, membuat perang besar di hati dan pikiran.
Dan hampir jebol untuk memuluskan pikiran pragmatis kebutuhan harian.
Apalagi angka seperti yang terjadi dikasus korupsi BTS (base transceiver station) di Kementerian Komunukasi dan Info (Kominfo).
Saya tak yakin jika pada posisi seperti itu, masih kuat menjaga benteng kejujuran itu.
Akhirnya, saya kembalikan suvenir “luring” itu. Tentu dengan izin memenuhi beberapa kebutuhan dalam perjalanan yang sepantasnya. Ada penyesalan, ada juga kelegaan yang menyatu dalam sesak di dada.
“Ya sudahlah, masih ada rizqi yang lebih barokah”, saya ngademi nafsu pragmatis.
Saya bersyukur masih punya kegelisahan. Melahirkan kegentaran, menunggu pemenang pertarungan antara pragmatism dan ketakutan-nurani.
Baca Juga:Pojokan 171, TegakLurusANTI PELAKOR! Simak Cara Menyadap WA Suami dengan Nomor Hp Terupdate
Sebab ketika kegelisahan itu hilang, melayang pula kebeningan nurani. Bukan berarti nurani ini bening!
Sebab kebeningan itu selalu buram, terkotori berbagai hal hina laku lampah dan pikiran. Menjadi borok-aib yang ingin ditutupi. Bahkan sejujurnya, nurani ini hampir-hampir tak punya radar kecemasan.
Akibat sinyal keresahan meredup, meliuk ditiup godaan hidup. Pun gedoran kepada benteng kejujuran dan integritas.
Sebab godaan itu ada di depan mata, nyata! Dibalik benteng itu, kebutuhan mendesak merangsek semakin deras dan berat. (Kang Marbawi, 22.10.23)