Di Indonesia, masjid dalam pandangan sejarah memiliki fungsi sebagai lembaga pendidikan tertua. Sebelum lahirnya sekolah dan madrasah formal, masjid telah memainkan peran sebagai lembaga pendidikan yang telah mendidik masyarakat. Kyai atau Ustaz yang mengasuh masjid dipercaya memiliki legalitas berdasarkan kapasitas keilmuan dan kekuatan karakternya. Masyarakat memberikan kepercayaan penuh kepada pengelola masjid (Kyai, ustaz dan Takmir) untuk menyerahkan anaknya sebagai peserta didik. Seakan masjid telah mendapat akreditasi dari masyarakat untuk menyelenggarakan aktifitas pendidikan.
Konsep pengeolaan masjid sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an syrat At- Taubah ayat 18 : “ Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ayat di atas menggabarkan aktifitas pendidikan masjid yang holistik dengan unsur – unsur sebagai berikut :
Baca Juga:Persoalan Jabatan Kosong di Lingkungan Pemkab Karawang Tidak Tuntas, Disinyalir Ada Konflik KepentinganTerpilih Aklamasi, Kurniadi Nahkodai Organda Kabupaten Karawang
- Pendidikan kecerdasan spiritual melalui Pendidikan Tahidullah, yakni Pendidikan keimanan sebagai sentral sekaligus landasan Pendidikan.
- Pendidikan kecerdasan emosional melalui amaliah shalat.
- Pendidikan kecerdasan sosial melalui zakat, infak dan sedekah.
- Kecerdasan intelektual melalui penanaman nilai keberanian (tidak takut kecuali hanya kepada Allah). Dari sikap ini lahirlah kreatifitas yang melahirkan ilmu masa depan untuk mempertahankan hidupnya.
Melalui penyajian pendidikan yang holistik tersebut, maka masjid akan tetap eksis tidak tenggelam ditelan zaman. Sebaliknya, Ketika menu pendidikan disajikan oleh masjid sudah tidak lagi berorientasi pada kecerdasan yang holistik, maka masjid akan ditinggalkan jama’ahnya. Maka benarlah kata A A. Nafis: “Rohonya Surau Kami” karena penghuninya sibuk dengan kecerdasan ritual tanpa mengimbangi kecerdasan pada dimensi yang lain. Pesan lain yang bisa diambil hikmahnya adalah bahwa pemakmur masjid itu adalah orang yang beriman dan berjiwa sosial. Dimensi ganda itu harus dimiliki agar pemakmur masjid juga bisa memakmurkan jamaah di sekitar masjid, sehingga diperlukan syarat yang memiliki ekonomi yang kuat disamping keimanan yang kuat juga. Di beberapa ayat dalam Al Qur’an selalu dipesankan bahwa orang yang beriman selalu disandingkan dengan amal sahaleh atau berbuat kebaikan artinya mereka yang sudah menyatakan beriman maka hatinya harus menjadi bersih sehingga menyinari perilakunya. Maka masjid yang dibangun dan dimiliki pada masa kini harus dikembalikan fugsinya seperti zaman Rosululloh.