Menurut Lisa Tuttle di dalam buku Encyclopedia of Feminism, istilah feminsime berasal dari bahasa latin (femina = women), yang berati memiliki sifat keperempuanan. Istilah kata ini digunakan untuk menunjukan kepada suatu konsep mengenai persamaan kelamin (sexual eqaulity) antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan menurut Donna Hawxhurs dan Sue Marrow di buku Living Our Visions Bulding Feminist Community mendefinisikan feminisme sebagai gerakan untuk menghapus subornasi perempuan. Lebih lanjut keduanya menjelaskan, feminisme merupakan ajakan untuk bertindak bukan hanya konsep, retorika dan tulisan semata.
Di Indonesia sendiri gerakan feminis sudah di mulai sejak awal, kolonialisme, bahkan sebelum berdiri negara Republik Indonesia. Tokoh legedenda seperti Ken Dedes, Tribuana Tunggadewi, Roro Jonggrang, dan lain-lain sudah cukup familiar sebagai perempuan legendaris yang menurut beberapa interpretasi sejarah perlu dikaji lebih serius guna menambah khazanah formulasi gerakan keperempuanan.
Salah satu tokoh feminisme Indonesia ialah Malahayati. Ia hidup di tahun 1550 sampai 1615. Malahayati adalah putri Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya seorang laksamana terkenal bernama Muhammad Said Syah. Sejak kecil Malahayati sudah dididik supaya selalu patuh menjalankan prinsip beragama. Menginjak usia delapan tahun, dirinya belajar ilmu agama kepada Tengku Jamaludin Lam Kra, seorang ulama kharismatik sekaligus pemimpin pondok pesantren di Banda Aceh.
Baca Juga:Allianz Syariah Sasar Penduduk Muslim Terbanyak di Jawa Barat dengan Program Asuransi GratisTim Pemenangan AMIN Subang Optimis Menangkan Suara 60 Persen
Dua tahun kemudian Malahayati melanjutkan belajar agama di Dayah Inong (Madrasatul Banat) mengenai ilmu akidah, fiqih, dan bahasa Arab. Malahayati tumbuh dewasa bukan hanya mahir berbahasa Arab, tetapi juga bahasa Inggris, Perancis, Spanyol dan Melayu. Pada satu kesempatan, Malahayati pernah memimpin perundingan dengan Spanyol. Saat berunding Malahayati begitu teguh, ia berhasil memaksa Belanda membayar denda 50 ribu gulden.
Sebagai panglima angkatan laut perempuan pertama di dunia. Sebelum tahun 1650 Malahayati pernah bersekolah militer di Aceh Royal Military Academy atau lebih di kenal Mahad Baitul Maqdis. Tentu ini 250 tahun lebih awal dari RA Karini menyatakan perempuan perlu bersekolah. Â Di tahun 1990 Kartini menyatakan bahwa perempuan harus bersekolah. Namun 250 sebelum itu, ada Malahayati yang sudah bersekolah. Bahkan bukan sekolah biasa, melainkan sekolah militer yang memberikan keterampilan khusus mengenai militer.