Di dalam novel berjudul ‘’Oude Glorie’’, Malahayati di gambarkan oleh Marie van Zeggelen sebagai sosok perempuan yang terkenal bukan hanya di Belanda, tetapi juga sampai daratan Cina. Peranya sebagai organisatoris mampu mengelola armada Inong Balee sebanyak 1000-2000 janda muda dan kaum perempuan.
Pasukan Inong Balee rutin mengikuti pertempuran di Selat Malaka, Pantai Timur Sumatera dan Melayu. Untuk memudahan komunikasi dan mengatur srategi mereka mendirikan ‘’Kuta Inong Balee’’ berati benteng perempuan janda. Selain menjadi tempat berkonsolidasi, benteng ini dijadikan tempat untuk mengintai kedatangan musuh-musuh ke pelabuhan Kesultanan Aceh.
Laksamana Malahayati mengatur ratusan armada laut untuk memenangkan pertempuran Ia memiliki perlengkapan yang terdiri dari 500 kapal layar dan 100 kapal perang (galey), di antaranya ada yang berkapasitas muatan sampai 500-500 penumpang. Semua kapal ini berada di bawah kordinasi Laksamana Keumalahayati.
Baca Juga:Allianz Syariah Sasar Penduduk Muslim Terbanyak di Jawa Barat dengan Program Asuransi GratisTim Pemenangan AMIN Subang Optimis Menangkan Suara 60 Persen
Di sisi lain, Malahayati juga memiliki pasukan daratan berupa 900 ekor gajah terlatih untuk bisa beradaptasi dalam kondisi perang. Gajah ini dilatih supaya tidak takut api dan suara tembakan. Bukan hanya sebagai pelengkap perang, tetap gajah ini berfungsi sebagai penerima tamu asing saat menjalin kerjasama dengan kesultanan.
Tahun 1599, Malahayati mengalahkan komando ekspedisi Belanda bernama Cornelis de Houtman akibat pengkhianatannya kepada pemerintah Aceh. Malahayati mampu melumpuhkan pasukan Cornelis ditengah senjata Belanda yang lebih modern dan pengetahuan yang lebih kokoh mengenai perairan. Hal ini menegaskan bahwa Malahayati memiliki reputasi yang dihormati sekaligus disegani oleh musuh-musuhnya.
Pada abad ke 16, sosok Malahayati mampu menggetarkan ruang publik. Ia sudah bersekolah, berperang sekaligus mengkonsolidasikan gerakan perempuan sebagai bagian dari masyarakat. Sebelum konvesi perempuan pertama dunia digelar tahun 1884, disaat perempuan Amerika meneriakan hak-hak perempuan, 230 tahun sebelum itu Indonesia sudah memiliki perempuan bernama Malahayati. Ia sudah mengambil peran sosial bersama perempuan-perempuan Aceh demi mempertahankan bangsanya
Tak heran kiran, jika feminisme diartikan sebuah gerakan yang berusaha menghapus segala bentuk subornasi kepada kaum perempuan sosok Malahayati sudah tepat dijadikan kiblat. Sebagai simbol feminisme Indonesia Malahayahati telah memberikan keteladanan tentang konsistensi perjuangan kaum perempuan. Semoga dengan keteladanan Malahayati kita semua sadar akan komitmen peran perempuan di ruang publik tanpa meninggalkan semangat perjuangan yang menjadi memori kolektif bangsa ini.