Oleh: Yuyun Wahyudin
Guru Bahasa Arab & Kepala MA Al-Falah Nagreg Bandung
Sesungguhnya, saya tidak punya kapasitas untuk membaca apalagi menafsir segala sesuatu tentang Gus Dur dan semua pemikirannya, karena perbedaan maqam kecendikiaan dan level kewalian.
Saya bukan cendikia apalagi “wali”, sedangkan Gus Dur dikenal sebagai cendikia,dan kiai yang menjadi guru bangsa sekaligus waliyullah beneran.
Baca Juga:Panwascam Subang Gelar Sosialisasi dan Dokumentasi Pengawasan LogistikTridjaya Group Beri Kontribusi untuk Atasi Stunting
Oleh karena itu, Ketika saya menulis tentang ini sudah dapat dipastikan tidak bisa sampai pada pemahaman yang hakiki mengenai beliau, sesuai dengan kaidah lâ ya’rifu al-waliyya illa al-waliyyu.
Kalaupun kali ini memberanikan diri untuk menulis tentangnya, itu karena kecintaan seorang murid pada guru idiologisnya, yang dengan suka cita ia ingin berkhabar tentang segala keistimewaan yang dimiliki oleh gurunya kepada semua orang yang belum mengenalinya.
Gus Dur Sebagai Sebuah Teks
Mungkin tidak salah, jika kita menyebut sosok Gus Dur yang nyeleneh sebagai sebuah teks, meski ia tidak mewujud dalam bentuk tulisan, tapi seluruh prilakunya; ucapan, tindakan dan gagasan pemikirannya, selalu diperbincangkan, diobrolkan dan didiskusikan layaknya sebuah teks bacaan di koran oleh banyak orang, dari mulai rakyat jelata sampai penguasa, masyarakat nasional sampai internasional, baik yang seagama maupun yang tidak seagama.
Tidak jarang dari perbincangan sosial itu muncul pro dan kontra terhadap gagasan dan keputusan Gus Dur, baik sebagai individu maupun sebagai representasi dari organisasi (ketua PBNU) atau lembaga negara (Presiden), sehingga terjadi polarisasi antara muhibbin dan mu’ânidin dalam menyikapinya.
Sebagai sebuah teks, ia bersifat otonom, bebas untuk ditafsir (dipahami) oleh siapa saja dengan cara apa saja, sehingga pantas kalau pernyataan dan tindakan Gus Dur menjadi multi tafsir, meski demikian tafsir yang baik adalah tafsir yang minim distorsi dari maksud yang ingin disampaikan oleh pembuat teks itu sendiri.
Untuk mendapatkan hasil penafsiran yang mendekati “apa yang dimaksudkan” oleh si pengirim pesan”, maka diperlukan metodologi atau pendekatan yang kredibel yang menjamin objektifitas dari hasil pemahaman tersebut.