Background Sosial Kultural Gus Dur
Jika dalam memahami al-Quran perlu pengetahuan tentang sabab nuzul, dan dalam hadits perlu wawasan tentang sabab wurud, maka untuk memahami artefak pemikiran Gus Dur mungkin diperlukan juga pengetahuan tentang situasi social dan psikologis (suasana kebatinan) yang membersamai perjalanan hidup Gus Dur.
Gusdur dalam perjalanan hidupnya, telah melintasi tiga lapisan budaya, yaitu pertama kultur dunia pesantren yang sangat hirarkhis, sederhana, tertutup, dan penuh etika; kedua kultur dunia timur tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga kultur dunia barat yang liberal, rasional dan skuler.
Kesemuanya itu masuk bersinergi dalam kepribadian Gus Dur. Ketiga kultur tersebut memiliki andil dalam membentuk cara berfikir Gus Dur, secara balance, tidak ada satu bagian pun yang dominan. Hal ini yang menyebabkan Gus Dur selalu dinamis dan sulit dipahami.
Berpikir Ala Gus Dur
Baca Juga:Panwascam Subang Gelar Sosialisasi dan Dokumentasi Pengawasan LogistikTridjaya Group Beri Kontribusi untuk Atasi Stunting
Dalam konteks ini, penulis tidak akan merinci apa saja hasil pemikiran Gus Dur, karena terlalu luas dan banyak pemikiran beliau, sebab menyangkut seluruh aspek kehidupan yang ia respon melalui ucapan, tulisan dan tindakan.
Juga tidak akan memaparkan 9 Prinsip pemikiran Gus Dur yang dikenal di kalangan Gusdurian (ketauhidan, Kemanusian, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, ksatriaan, dan kearifan tradisi).
Namun yang ingin disampkan oleh penulis hanyalah sekelumit tentang warna-warni yang menjadi ciri khas gaya pemikiran Gus Dur, yang bisa diterapakan oleh kita dalam menghadapi masalah kehidupan, baik social maupun individual yaitu antara lain:
Substansial (jauhariyyah)
Pemikiran Gus Dur secara umum bercorak substansial, ia lebih mengedepankan aspek yang menjadi inti dan isi daripada aspek formalitas dan symbol, seperti pemikiran mengenai menggati ucapan salam dalam bahasa arab dengan ungkapan selamat dalam Bahasa Indonesia, karena substansinya adalah menyebar kedamaian, apapun media (symbol) bahasanya, begitujuga dengan konsep negara Pancasila vs konsep negara agama dalam kontek Indonesia, ia lebih memilih negara Pancasila, karena dalam pandangannya pancasilapun tidak terserabut dari nilai-nilai substansial agama.
Bahkan istana presiden yang syarat dengan formalitas pun dirubahnya menjadi rumah rakyat yang ramah, mendobrak kaidah-kaidah protokoler, karena substansi (hakikat) dari penguasa adalah pelayan rakyat. Dalam quotenya ia menyatakan: “Esensi Agama tidak terletak pada pakaian yang dikenakan, melainkan pada akhlak yang dilakukannya.”