Oleh: Shafa Salsabila
Mahasiswa pascasarjana di program S2 Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia
Sama halnya dengan pendidikan, proses hukum pun memiliki banyak tujuan yang tentu bisa jadi berbeda. Dari sekian banyak tujuan yang mungkin terjadi dalam proses hukum, kita akan fokus pada salah satunya yaitu pemberian vonis pada proses hukum pidana, atau katakanlah pada persidangan pidana. Dimana tujuannya ialah menentukan pihak yang bersalah dan tidak bersalah.
Pada persidangan pidana terdapat suatu istilah yang tidak asing digunakan, yaitu Paternalisme Epistemik. Paternalisme epistemik mengacu pada kecenderungan untuk mengontrol atau mengarahkan informasi dengan keyakinan bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk kebaikan seseorang/kelompok. Contoh sederhananya ialah orang tua yang membatasi akses internet di perangkat yang dimiliki oleh anaknya dengan tujuan agar sang anak tidak mendapatkan informasi yang seharusnya belum ia ketahui.
Dalam persidangan pidana, paternalisme epistemik dilakukan dengan cara membatasi penggunaan bukti bagi para juri persidangan. Pembatasan akses bukti ini lebih ke arah bukti masa lalu terdakwa. Dengan harapan bahwa terdakwa tidak dinilai berdasarkan apa yang ia lakukan pada masa lalunya.
Baca Juga:Diduga Cabuli Belasan Santri, Polisi Masih Buru Oknum Guru NgajiPeduli Sosial, 234 SC Subang Gelar Donor Darah di PMI Subang
Tindakan paternalisme epistemik di atas erat kaitannya dengan teori The Blackstone Formula. Teori tersebut dikembangan oleh William Blackstone (1723) yang merupakan seorang hakim dan politisi dari Inggris. Pernyataan yang terkenal dari teori ini alah “lebih baik melepaskan sepuluh orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Gagasan ini menekankan pentingnya sistem hukum yang adil dan menunjukkan bahwa perlindungan terhadap terdakwa tidak bersalah adalah suatu prioritas.
Dari tujuan paternalisme epistemik yang bermaksud melindungi hak-hak ornag yang tidak bersalah, maka dibutuhkan bukti yang cukup kuat sehingga dapat menghindari kemungkinan menghukum seseorang yang mungkin tidak bersalah. Dengan kata lain, bukti di sini adalah sarana penting untuk menentukan vonis terhadap terdakwa.
Namun, tidak semua hal yang dianggap sebagai bukti maka secara otomatis dianggap sebagai bukti hukum. Contohnya bukti statistik masa lalu terdakwa dimana dulunya si terdakwa pernah melakukan pencurian.