Memotret Perjalanan Implementasi Kurikulum Merdeka

Memotret Perjalanan Implementasi Kurikulum Merdeka
0 Komentar

Tentunya akan semakin lama proses penyebaran informasi tentang kurikulum merdeka tersebut. Kekurangan ini dirasakan lagi ketika sekolah kurang intensif dalam mengadakan sosialisasi Kurikulum Merdeka dalam bentuk pelatihan, maupun worshop yang diikuti oleh guru. Hal ini bisa terkendala oleh kebijaksanaan angaran, nara sumber atau kesulitan lain oleh sekolah tersebut. Sosialisasi sebenarya sering dilakukan dengan metode daring oleh pemerintah dalam hal ini dilaksanakan oleh dinas terkait, namun rupanya untuk mengikuti pembelajaran model daring para guru sudah semakin jenuh dan sekedar mengikuti untuk formalitas mencari sertifikat saja. Daring rupanya sudah biasa ditngggal (disambi: Jawa) dengan aktifitas lain dan tidak diperhatikan walaupun dalam kegiatannnya seolah masih mengikutinya, walaupun akirnya juga memperoleh sertifikat keikutsertaan dalam workshop tersebut.

Kedua, pemahaman pembelajaran diferensiasi oleh guru sendiri yang masih kurang. Hal ini juga setali dengan pemahaman kurikulum Merdeka itu sendiri. Banyak guru ketika kurikulum berganti beranggapan itu adalah pergantian biasa seperti pergantian presiden yang berlangsung lima tahun sekali, sehingga pergantian hanya sekedar nama mata pelajaran atau pokok bahasan yang disampaikan di “olak-alik”. Demikian Bahasa mereka untuk mengatakan bahwa pergantian kurikulum sering dimaknai perubahan sub pokok bahasan yang digeser posisinya saja dari kelas satu ke kelas lainnya, sehingga dengan kebiasaan ini mereka menyambut dengan adem-ayem saja perubahan kurikulum ini. Sementara pemerintah dengan gegap gempita dengan berbagai proyek kegiatan, namun di bawah masih adem ayem saja seolah layaknya hanya ganti baju usai kerja saja.

Di tingkat SMA, yang dulu dikenal dengan adanya setidaknya dua jurusan yaitu IPA dan IPS, didalam kurikulum merdeka dihilangkan istilah tersebut namun dalam porsi peminatan siswa tetap diberi kebebasan untuk memilih mata pelajaran yang sesuai dengan bakat, minat dan cita-cita peserta dididik. Ternyata walau sekedar memilih, untuk anak setingkat SMA bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Mereka masih sering bingung dengan potensi dan minat yang dimilikinya walaupun sebenarnya hampir semua sekolah sdah mengawalinya dengan tes diaknostik tentang bakat dan minat siswa sebelum memilih mata pelajaran apa yang diikutinya kelak.

0 Komentar