Pojokan 184, Mendengarkan
Seperti halnya Kemerdekaan, “didengarkan suaranya” pun menjadi hak segala manusia.
Sebab apa gunanya telinga, kalau tak mau mendengarkan keluhan, ocehan, dan segala hal yang keluar dari mulut manusia.
Ihwal fungsi telinga sebagai alat pendengar rupanya banyak didominasi oleh pujian dan segala hal yang bagus yang ingin didengar saja.
Hal-hal lain selain sanjungan, tak pantas masuk dalam radar gendang telinga. Maka telinga hanya mau mendengar apa yang ingin didengar.
Baca Juga:Pelatihan Advokasi Kebijakan dan Program Moderasi Beragama di Sekolah 2023Komentar Gus Menteri Soal Giat Advokasi Kebijakan dan Program Moderasi Beragama di Sekolah
Fungsi mendengar pun mulai tergerus oleh fungsi mulut yang menghegemoni percaturan komunikasi sosial, personal dan interpersonal manusia.
Pertarungan yang selalu dimenangkan oleh mulut dibanding telinga. Tak pernah telinga ini memenangkan peran sentral dalam perebutan komunikasi.
Mulutlah yang lebih banyak berperan. Peran mulut yang lebih besar itu, lebih karena relasi kuasa yang dirasa oleh setiap orang.
Merasa lebih dari yang lain, salah satu kuasa yang selalu muncul. Melahirkan konflik dan pertengkaran.
Sebagai hak segala manusia, “didengarkan tuturannya” menjadi barang langka. Pun “mendengarkan aspirasi” menjadi barang mahal pada kalangan para petinggi dan sesama.
Butuh perjuangan untuk bisa “didengar” dan atau “mendengar”. Pantas para pendemo lantang mengedepankan mulut sebagai senjata agar suarana “didengarkan!”.
Sementara para pejabat justru menutup telinga agar tak “mendengar” kritikan atau masukan.
Mau “mendengarkan” adalah kewajiban pertama bagi sesama.
Baca Juga:PLN UP3 Purwakarta Salurkan Bantuan kepada Warga Subang yang Terdampak Bencana LongsorPLN UID Jabar Gerak Cepat Salurkan Bantuan Kepada Warga Terdampak Bencana Longsor dan Gempa di Sumedang dan Purwakarta
Menjadi ”pendengar” yang kritis menjadi layanan pertama dan kemampuan awal yang harus ditanamkan.
Apalagi bagi para pejabat. Lantaran dengan mendengar pada dasarnya, kita berada pada titik untuk memahami makna dan persoalan.
LIHAT JUGA: Ujung Senja
Mengurai informasi dengan jernih dengan tabayun. Mengumpulkan sesak para pengeluh dan keluhan untuk dicarikan solusi.
Dengan “mendengarkan” kita belajar untuk melihat sudut pandang yang berbeda dan melihat kepentingan yang terselubung.
Juga ketulusan dan kejujuran dari mulut.
Membutuhkan saluran kesadaran untuk membuka telinga, hati dan pikirannya dengan adil, agar mau “mendengarkan”.