Sering kali kita menutup diri untuk mendengarkan bisikan nurani.
Nurani yang selalu memberikan pertimbangan moral dan etik terhadap segala laku lampah kita.
Setiap orang hanya ingin “didengarkan” sekaligus tak mau “mendengarkan”.
Sebagai hak asasi seluruh umat manusia, apalagi para bawahan, wong cilik dan sebangsanya, “didengarkan” menjadi tujuan utama.
pengusung ingin “didengarkan” kadang hanya perlu didengarkan dan dicarikan solusi dari sumbatan masalah yang tak pernah terdengar.
Baca Juga:Pelatihan Advokasi Kebijakan dan Program Moderasi Beragama di Sekolah 2023Komentar Gus Menteri Soal Giat Advokasi Kebijakan dan Program Moderasi Beragama di Sekolah
Solusi yang bisa dibicarakan bersama. Sebab suara-suara yang ingin didengar, kadang tak berbunyi, namun nyaring terdengar di mana-mana.
Di dinding-dinding, dilambaian kain lap pramusaji, disepoi hembusan nafas, didenting gelas beradu, dibisik-bisik orang-orang. Menjadi gosip murahan.
Dibutuhkan ketajaman dan kepekaan nurani untuk “mendengar” suara lirih tak bersuara ini.
Nurani melayani menjadi radar untuk bisa menangkap suara lembut tak bersuara.
Menangkap resonansi gaung di dinding-dinding melalui bisikan dan tatapan mata serta senyum ketus atau senyum ketakberdayaan.
Mau mendengarkan dipicu oleh kerendahan hati, keterbukaan untuk menekan relasi kuasa yang menjadi buruan egoisme.
Mendengarkan dengan kekritisan yang rendah hati mendorong fungsi mulut untuk menyampaikan gagasan bijak berbasis pada tabayun dan rasa keadilan. (Kang Marbawi, 14.01.24)