Pojokan 187, Adu-adu
“Gak bahaya ta?” Seloroh Prof Yudian Wahyudi pada suatu acara.
Seloroh tentang kecendrungan “adu-adu” (bahasa Jawa untuk mengadu-domba) yang sering kali terjadi di masyarakat dan lingkungan kerja. Dalam sejarahnya, “adu-adu”, sejak Adam diturunkan telah mulai bersemi.
Tengok saja sejarah Yunani Kuno hingga saat ini. Mitologi Jason putra Aison mencari Bulu Domba Emas atau Liga Delos persekutuan untuk kampanye melawan Persia.
Atau Raja Xerxes dari Persia yang menggunakan tipu muslihat melawan Raja Leonidas dari Sparta.
Baca Juga:Dukung Eksositem Pegguna Kendaraan Listrik, PLN bangun SPKLU di PURWAKARTA DAN SUBANGPj Bupati Purwakarta Pimpin Apel Bulan K3 Nasional 2024 PLN UP3 Purwakarta
Jaman Belanda, kerajaan di Nusantara diadu-domba dengan politik “pecah belah-belah bambu”.
Selalu ada saja tipu muslihat “adu-adu” disetiap massa. Muslihat yang oleh Rhoma Irama, si-Raja Dangdut, dijadikan lirik lagu “Adu Domba” yang ditilis tahun 1982.
Adu dalam bahasa Arab (addu) berarti menggigit. Menggigit teman dan lawan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi.
Dengan menyebarkan berita bohong kepada lawan dan kawan terkait mereka sendiri.
Kompetensi “adu-adu” ini seolah ladoni.
Setiap orang yang memiliki ambisi dan kepentingan, selalu punya kemampuan melakukan “adu-adu”.
Tak peduli dari kompetensi tersebut, ada banyak pihak yang dirugikan.
Bahkan dikorbankan dan atau jadi korban. Kosep “adu-adu” tak mengenal prinsip “satu kata dalam perbuatan”.
Sesungguhnya, dimanapun, semua manusia selalu adu-adu. Adu-adu kadang dibungkus dalam “curhat” (curahan hati).
Baca Juga:Pojokan 186, Pemilihan Ketua KoperasiPojokan 185, Integritas
Curhat tentang apapun, dalam pekerjaan, dan hubungan sosial lainnya. Soal curhat, itu tidak dimonopoli golongan remaja saja.
Semua orang pun, membutuhkan tempat curhat terkait berbagai problem yang sedang mereka hadapi.
Orang yang tak siap menghadapi disrupsi, adu-adu, curhat dan segala hal menjadi alat melampiaskan ketakberdayaannya.
ketakberdayaan menghadapi perubahan serta disrupsi.
Saat ini, “adu-adu” tidak hanya menggunakan mulut sebagai media penyampaian.
Media sosial dengan berbagai fitur komentar atau emoticonnya menjadi wahana untuk menyebar “adu-adu”.
Melahirkan konsep hiperrealitas, simulacra melalui hoaxs. Adu-adu melalui hiperrealitas, kebohongan yang diulang terus menerus dan dianggap sebagai kebenaran, dengan media berita/informasi hoaxs.