Jelang pemilihan presiden, hoaxs sebagai posrtruht, menjadi media paling ampuh untuk adu-adu.
Adu-adu masyarakat agar terbelah, menangguk dukungan, menganggit pesona dan simpati. Semua kontestan menggunakan “adu-adu” sebagai bagian dari strategi.
Apapun dijadikan amunisi untuk dilemparkan di media sosial sebagai “adu-adu”.
Memanfaatkan psikologi baperan (bawa perasaan-mudah tersinggung) natizen -warga dunia maya, lemparan hoaxs selalu berbuah konflik.
Membuncahkan sumpah serapah, cemooh, olok-olok, cacian, dan segala makian.
Baca Juga:Dukung Eksositem Pegguna Kendaraan Listrik, PLN bangun SPKLU di PURWAKARTA DAN SUBANGPj Bupati Purwakarta Pimpin Apel Bulan K3 Nasional 2024 PLN UP3 Purwakarta
Pun pembelaan membabi buta. Hoaxs hanya meninggalkan residu konflik, korban dan kerusakan.
Sementara pengadu, yang menangguk untung, tak pernah yang memikul rugi sosial.
Kuasa lah yang didapat.
Memang itu tujuan utama para pengadu.
Pengadu tak pernah berpikir “nggak bahaya ta?” terhadap kelakuan adu-adu nya dengan menyebar hoaxs atau cari muka.
Persetan dengan bermoral dan beradab apalagi berperikemanusiaan, demi keuntungan pribadi, mendiskreditkan dan menjatuhkan teman pun dilakukan.
Adu-adu untuk dapat keuntungan jabatan, nama baik atau cari muka. Seolah mukanya sudah hilang atau usang, hingga harus mencari muka baru, dihadapan pimpinan.
“Cari nama boleh, tak usahlah mencari muka”, begitu tulisan di belakang truk.
Pesan Prof Yudian, “adu-adu boleh hanya kepada Sang Pencipta”. (Kang Marbawi, 05.02.24)