Bahkan diberati dengan doktrin spiritual, pada pilihan yang terpilih dan dipilih.
Melahirkan residu keterbelahan amat dalam, sebelum hingga selesai hajat pilpres.
Residu yang terus tersisa dan tersimpan hingga pilpres yang akan datang.
Sementara calon yang dipilih sendiri, baik yang yang terpilih atau tak terpilih, sudah duduk semeja makan.
Baca Juga:Anti Ribet Bikin Rapi, ACE Hadirkan Stora Sebagai Solusi Praktis untuk Urusan RumahPetani dan Pelaku Usaha Penggilingan Padi di Cikarang Hemat Puluhan Juta Per Bulan dari Program Electrifying Agriculture PLN
Maka pantas adagium “Dalam politik, tak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan”.
Selama ada kepentingan yang sama, yang berbeda ideologi pun bisa ngopi bareng.
Sebaliknya, walau sama ideologinya, namun beda kepentingan, bisa memungkiri satu sama lain.
Sama seperti makanan atau hobi, pilihlah pemimpin yang pas dengan selera.
Tak usah pusing dan sewot dengan selera pilihan yang berbeda. Menawarkan pilihan sah-sah saja.
Yang tak sah dan tak boleh adalah memaksakan pilihan.
Maka tak usah baperan (bawa perasaan) jika berhadapan dengan yang berbeda pilihan. Biasa-biasa saja.
Sebab bagi kita, bukan kalkulasi politik yang utama.
Tapi keberlangsunghan hidup sehari-hari dan amanah untuk menghidupi keluarga dengan jalan yang benar yang harus dikalkulasi.
Kalkulasi pada tak mengabaikan amanah dalam pekerjaan dan bekerja.
Baca Juga:Pojokan 187, Adu-aduDukung Eksositem Pegguna Kendaraan Listrik, PLN bangun SPKLU di PURWAKARTA DAN SUBANG
Siapapun pemimpinnya, selama taat pada konstitusi, tak menyepelekan amanah (berbuat adil, mensejahterakan, memiliki dignity, dan manjaga kedaulatan bangsa dan negara) tak masalah.
Mari memilih yang sesuai dengan selera pilihan anda. Dan hargai pilihan orang lain yang tak sama seleranya.
Yang harus sama pilihannya adalah menjaga Konstitusi dan Kedaulatan negara tetap utuh. (Kang Marbawi, 11.02.24)