Problemnya adalah, para kontestan pemilu seringkali tersandera dalam gimik politik yang orientasinya kaum muda sebagai sekedar etalase politik yang kemudian justru abai pada isu-isu krusial anak muda. Sehingga hal tersebut terbilang kontra-narasi, tentu hal demikian tidak dikehendaki.
Dapat diduga kiranya, generasi muda bukan saja menentukan keberlangsungan peralihan kepemimpinan dalam konstalasi pemilu sekarang, khususnya capres dan cawaspres, jauh daripada itu, generasi muda juga menentukan keberhasilan cita-cita bersama bangsa Indonesia di masa yang akan datang yaitu indonesia emas 2045. Indonesia Emas 2045 adalah sebuah visi jangka panjang yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju dan sejahtera pada tahun 2045, yang merupakan tahun ke-100 kemerdekaan Indonesia.
Visi ini menegaskan komitmen untuk mencapai kemajuan dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik. Harapan besar tersebut tentunya mesti kita upayakan secara serius sejak sekarang melalui ikhtiar pemilu 2024 yang kurang dari 3 hari lagi.
Baca Juga:Netty Heryawan Ajak Masyarakat Cegah Stunting Mulai Dari HuluPilpres dan Logika Memilih
Sekalipun kita menyaksikan pelbagai persoalan di tengah dinamika pemilu 2024 yang masih saja bergulir, haruslah dijadikan pelajaran untuk tidak diteruskan kemudian hari, terutama dalam soal etikabilitas dan kecurangan pemilu yang acapkali dinarasikan.
Mengutip pernyataan prof komaruddin, ia mengatakan bahwa tidak ada pemilu tanpa kecurangan, dan sekarang semakin berkembang, dalam konteks peraturan pemilu dapat kita lihat terdapat celah yang berpotensi kuat dimanfaatkan oleh para kontestan pemilu terutama dalam pemenangan capres dan cawapres misalnya, seseorang yang bukan tim sukses tidak menunjukan visi-misi kemudian berbagi apapun yang dianggap menguntungkan salah satu paslon tentu aman-aman saja, tidak bisa kemudian terjerat hukum terutama oleh Bawaslu yang berwenang.
Akan tetapi, dengan berbagai celah dan kelemahan peraturan tersebut bisa diatasi selama para pemimpin memiliki komitmen, menjungjung tinggi etika dan moral, bukan saja untuk menghasilkan pemenangan presiden-wakil presiden, melainkan pemimpin masa depan bangsa yang akan memimpin peradaban kedepan.
Berjalan seiring, tokoh akademisi Gandjar Laksmana mengatakan, saat ini kita berada di era yang mana terjadi krisis etika dan moral, sehingga apa yang dahulu terjadi di peristiwa 1998 karena faktor krisis ekonomi dengan berbagai konsekwensinya, dewasa ini krisis kepemimpinan bisa menjadi pemicu disharmonisasi berbangsa dan bernegara.