Orang bisa mengatakan bahwa perilaku memilih adalah hal yang sangat unik dan berat serta penuh tantangan. Keputusan yang diambil akan sangat ditentukan oleh banyak pertimbangan mulai dari sosial religius sampai pertimbangan ekonomi-kultural, pertimbangan individu maupun universal. Ambil contoh: ketika memilih kepala desa di daerah pilihannya, mereka tidak jarang menggunakan pertimbangan sosial religi karena agama dan interaksi sosial yang baik dari calon yang akan dipilih. Bisa juga memilih karena melihat foto besar yang terpampang di tempat strategis sehingga hanya foto tersebut yang dikenal, bisa juga karena mendapat sogokan materi atau uang dan ini menjadi trend di beberapa tempat di Indonesia. Dan ada pula yang memilih karena pertimbangan kekeluargaan tanpa melihat aspek lain, itulah pragmatisme yang selalu menggoda di setiap memilih. Kita kadang sulit membedakan antara shadaqah dan sogokan (pemberian uang atau barang untuk tujuan duniawi). Sampai seorang kenalan saya yang berprofesi sebagai sopir mengatakan bahwa, saat ini jabatan bisa dibeli dengan uang pak, jadi sulit memilih pemimpin yang baik jika masyarakat sudah terbius dengan uang atau materi bahkan pemabuk pun suatu saat bisa jadi pemimpin jika dikehendaki oleh rakyat. Seorang Ustad memberikan pengarah pada jamaahnya saat pengajian : Bila anda diberi amplop atau materi dalam bentuk lain misalnya minyak goreng, botol mimum, termos minum ataupu apapun bentuk baranganya, selagi tidak ada ikatan apapun maka terimalah dan anda tetap memilih sesuai dengan nurani anda. Sehingga pemimpin yang baik atau buruk adalah cerminan dari akhlak rakyatnya. Pada kondisi semacam ini maka bila perlu untuk mendapatkan pemimpin yang baik harus disiapkan calon memiliki kemampuan, akhlak dan keahlian yang baik kemudian kita support pendanaannya agar bisa bersaing dan endingnya kita bisa memperbaiki perilaku pilihan masyarakat. Bila tidak ada upaya yang strategis maka model pemimpin yang terpilih tetap didominasi mereka yang punya modal materi yang memadai. Tidak jarang calon memimpin yang maju dalam sebuah kompetisi mengklaim pemberian bantuan untuk rakyat berasal dari dirinya, padahal uang uang negara yang digunakan.