Begitupun dengan keterpurukan.
Syair sebuah lagu, kadang menjadi penanda dan penguat diri.
Seperti lagu “Kugandeng Tangan Gaib-Mu” yang menemani dan menjadi pemacu semangat seorang Yudian Wahyudi kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di era tahun 1985-an.
Lagu itu menjadi penanda titik persimpangan dan nadir dari seorang Yudian. Antara melanjutkan hidup di perantauan (Yogyakarta) untuk menggapai cita-cita di dua tempat Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (dulu IAIN-Institute Agama Islam Negeri) dan pulang kampung. Pulang karena tak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikan.
“Di samping jalan aku harus memilih Berhenti ataukah aku lanjutkan?”
Lagu yang masuk dalam album “Zaman” gubahan Abid Ghoffar bin Aboe Dja’far alias Ebiet G Ade itu, mengiringi langkah Yudian menjajakan krupuk untuk menyambung hidup.
Mengenang lagu itu, berkaca-kaca mata Yudian.
Dan pilihan Yudian adalah benar dan berbuah.
Baca Juga:Visi Universitas Islam Dr. K.H. E.Z. Muttaqien 2045 Jadi Universitas Unggul di Asia TenggaraEV 4 Wheels Makin Beragam, PLN Sediakan Layanan Home Charging Bagi Pembeli Mobil Listrik Chery
Tak hanya Yudian, setiap orang harus memilih. Hidup adalah pilihan dan selalu ada pilihan.
Pilihan yang menentukan masa depan dan resiko yang akan mengiringinya.
Semakin besar pilihan, menumbuk pengorbanan, usaha dan upaya yang tak kalah besar. Begitupun yang salah pilih. Menangguk sesal yang tak kepalang.
Dalam proses pendewasaan proses menuju dan dalam perjalanan pilihan tersebut, Ebiet memberi penanda untuk menggemgam tangan gaib, sebagai penguat yang tak ada duanya.
“Aku ingin mengikuti-Mu betapa pun jauh
Perjalanan yang bakal mengasyikan
Menyebrangi laut, menjelajah awan
Menembus langit dan bintang-bintang
Kugandeng tangan gaib-Mu…”
Keterpurukan, adalah kesendirian.
Tak seorang mau tahu.
Sebab yang kalah tak ada yang menemani.
Yang menang selalu dikerubungi.
Yang bisa dipinta hanya kepada tangan gaib.
Itupun bila yang surut, sadar dan ingat, bahwa tangan gaib itulah yang menguatkan.
Tahun itu (1985) untuk Yudian dan sesiapa pun yang terpuruk atau yang berharap, hanya memikili harapan kepada tangan gaib.
Sebagai Pamuntangan – tempat menggantungkan harapan dan doa.
Tuhan! Gusti Allah! Sang Hyang Widi Wasa! (Kang Marbawi, 2502.24)