Oleh : Yulia Enshanty, S.Pd ( Mahasiswa Magister Pendidikan Geografi, Pascasarjana Universitas Siliwangi, Guru Geografi SMA di Kabupaten Sukabumi)
Sekolah Ramah Anak (SRA) merupakan sebuah konsep pendidikan yang mengedepankan pemenuhan hak dan perlindungan anak di lingkungan sekolah. Konsep ini idealnya diterapkan di semua jenjang pendidikan, termasuk SD, SMP, dan SMA. Namun, dalam praktiknya, terdapat beberapa kekhawatiran dari guru terhadap penerapan SRA. Salah satu kekhawatiran utama adalah SRA akan membuat guru menjadi terkekang dan anak-anak menjadi lebih manja, tidak disiplin dan tidak sopan terhadap guru.
SRA mengedepankan prinsip-prinsip seperti pemenuhan hak dan perlindungan anak yang dapat diartikan sebagai memberikan kebebasan yang lebih besar kepada anak untuk beraktivitas dan mengekspresikan diri. SRA tidak menggunakan hukuman fisik atau verbal terhadap murid, sehingga guru perlu mencari cara lain untuk mendisiplinkan murid yang nakal. Selain itu, SRA juga menekankan pembelajaran yang berpusat pada anak, sehingga guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi, tetapi murid didorong untuk aktif belajar dan mencari informasi sendiri.Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah pendekatan dalam dunia pendidikan yang menekankan pada penciptaan lingkungan belajar yang inklusif, responsif, dan mendukung perkembangan holistik anak. Namun, implementasi prinsip-prinsip SRA sering kali menimbulkan berbagai kekhawatiran di kalangan guru. Meskipun tujuannya baik, namun guru-guru sering merasa cemas tentang dampaknya terhadap otoritas kelas, disiplin, dan fokus pembelajaran akademis.
Baca Juga:Membangun Persatuan dan Rekonsiliasi pasca PemiluASUS Resmi Memperkenalkan Zenbook DUO (UX8406) di Indonesia
SRA dikhawatirkan akan membuat guru kehilangan kontrol atas kelas dan murid-muridnya. Guru juga khawatir SRA akan membuat mereka kesulitan dalam mendisiplinkan murid yang nakal dan akan membuat murid-murid menjadi tidak hormat terhadap guru, karena seolah guru harus bersikap”lembek” terhadap siswa. Jika guru terlalu berusaha untuk menciptakan lingkungan yang ramah dan inklusif, mereka mungkin dianggap sebagai “lemah” oleh murid-murid, yang pada akhirnya dikhawatirkan dapat mengurangi tingkat hormat dan ketaatan terhadap otoritas guru. Selain itu, ada juga kekhawatiran di kalangan guru bahwa SRA akan membuat fokus pembelajaran beralih dari akademis ke hal-hal lain dan akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas pembelajaran.