Pojokan 192, Abdi dalem
Karena mengabdi bukan pada orang perorang, bukan pula pada kekuasaan, tetapi kepada sebuah keyakinan dan nilai yang ingin diperjuangkan dan diwujudkan.
Obrolan itu muncul begitu saja dengan seseorang petani penggarap di kampung Kami Sindanglaut-Cirebon, Ma Ata.
Dan dalam pikiran Ma Ata, tidak ada konsepsi soal pengabdian yang muluk-muluk seperti di atas.
Baca Juga:HUT Ke-105, Damkar Purwakarta Berprestasi di Tingkat Nasional Pojokan 191, Jenis Manusia
Dalam diri Ma Ata, hanya ada pikiran bagaimana menggarap sawah dengan baik dan menghasilkan.
Agar hasil “paroan” (bagi hasil) lumayan.
Saya belajar kesederhanaan dari kehidupan Ma Ata dan para petani penggarap lainnya atau masyarakat umum biasa.
Tidak ada aktivitas usaha lain selain ke sawah.
Pendapatan yang menunggu hasil panen.
Dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang entah bagaimana tetap terpenuhi walau tidak berlebih.
Mungkin itu yang disebut kehidupan yang barokah.
Semua orang butuh bekerja. Sebab bekerja adalah eksistensi diri dan sosial.
Awalnya bekerja adalah untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Model orang yang bekerja hanya untuk mendapatkan upah ini, level kelas pekerja saja.
Ada juga tipe kerja seenaknya saja, yang penting upah besar.
Ada lagi model bekerja tidak hanya karena upah, tapi meningkatkan prestise dan ambisi, ini biasanya disebut level ambisius.
Baca Juga:Kawal Ground Breaking Islamic Boarding School Yayasan Masjid Endan Andansih, PLN Terapkan Listrik Tanpa KedipPojokan 190, Pamuntangan
Yang seperti ini, dalam bekerja akan memaksimalkan segala saluran komunikasi dan pendekatan kepada atasan dan kadang berakrobat ke sana ke mari tanpa lupa menginjak bawahan dan atau menyikut kanan-kiri.
Yang penting dapat nama. Seolah belum punya nama di mata atasan.
Punya cita-cita dengan karier mengkilap itu penting.
Itu yang menjadikan hidup dinamis dengan terus mengasah diri.
Tanpa harus mencari nama, apalagi cari muka.
Tapi ada lagi model Ma Ata dan atau abdi dalem -seperti para abdi dalem keraton atau kerajaan.
Abdi dalem, bekerja dengan penuh kegairahan dan keihlasan pengabdian kepada sebuah nilai budaya adi luhung.
Nilai yang direpresentasikan dengan simbol keraton sebagai penjaga eksistensi nilai budaya dan budaya nilai luhur.
Raja hanya representasi dari simbol dan nilai. Walau kadang terjadi perseteruan dan perebutan kekuasaan.