Pojokan 193, Tidak
Tentu tidak lumrah, jika mengatakan “tidak”.
Sebab galibnya bawahan, selalu mengatakan “ya” kepada atasan apalagi penguasa.
Sebab lidah ini juga sangat kelu untuk mengatakan “tidak” pada kehendak penguasa.
Entah karena ketakutan terlemparnya jabatan atau takut merusak hubungan.
Umumnya ketakutan karena dilepas jabatan, menjadi alasan utama untuk tak mampu mengatakan “tidak”.
Ah, memang itu sudah menjadi tradisi.
Baca Juga:Dirut PLN Raih Best CEO of Communications, 12 Penghargaan dari Menteri BUMN di Ajang BCOMSS 2024Subsidi Listrik Ke PLN Rp 75,83 Triliun, Wujud Negara Hadir Sediakan Akses Listrik Terjangkau Bagi Masyarakat
Apa yang diminta dan diperintah harus direspon dengan “siap” artinya “ya”.
Perkara mewujudkannya itu harus nabrak sana-sini, bukan urusan atasan.
Semua jadi beban yang di bawah. Sebab resiko itu akan ditanggung kita sendiri.
Begitulah relasi atas-bawah yang umum terjadi. Lumrah untuk selalu “ya” dan pantang untuk “tidak”.
Bagi yang merasa di atas, entah karena kedudukan, jabatan atau status sosial, kata “ya” adalah instrument yang harus selalu menyertai pada kehendak.
Tak peduli kehendak sendiri atau kemaslahatan umum.
Umumnya penguasa atau atasan, tak bisa menerima kata “tidak”.
Ketakberterimaan karena arogansi kekuasaan atau menghindari kemandekan dalam pekerjaan.
Dalam kehidupan sosial pun tak jauh beda.
Ada tipikal didiri kita, untuk selalu menyenangkan dan menjaga relasi sosial dengan kelu untuk mengatakan “tidak”.
Dan persepsi, ketika mengatakan “tidak” adalah bagian dari orang yang kaku dan tak bisa diajak kompromi.
Sejatinya, kata “tidak” menjadi dasar dari karakter diri.
Baca Juga:PLN UP3 Purwakarta Nyalakan Harapan Sambung Listrik Gratis 11 Keluarga Kurang MampuPLN Berikan Promo Ramadhan Tambah Daya Hingga 5.500 VA Hanya Membayar Rp. 202.403
Ada moral values yang harus diusung. Moral values untuk menegakkan nilai-nilai yang dianut dan dijaga.
Dan berani berhadapan dengan resiko. Hata tak disukai oleh atasan, karena kehendaknya tak diiyakan.
Sebab ketika selalu “ya” pada apa yang disampaikan atau datang, kita akan menjadi Carl Allen -diperankan oleh Jim Carrey, pada film “Yes Man” tahun 2008, yang diadopsi dari buku “Yes Man”, Danny Wallace. Carl Allen, “si tukang menyenangkan” tetapi mengorbankan diri, keluarga, persahabatan dan profesionalitas.