Bukan pada alur kepentingan. Walau tak mungkin seseorang hanya berkutat pada “ought” saja.
Sebab setiap proposisi “Is” sebagai tindakan yang menjadi fakta, selalu ditunggangi oleh kepentingan dan tujuan dari pelaku.
Setiap pelaku dalam laku lampahnya selalu ada motive.
Menyembunyikan motive inilah yang kadang menjadi kebalik-balik.
Ketika menjelaskan perkara yang seharusnya sesuai norma hingga jungkir balik, tak akan sampai menyentuh fakta yang dibaliknya ada motive kepentingan.
Baca Juga:Tradisi Ramadan, KPAP Santuni Anak Yatim, Juga Gelar Seminar dan Simulasi Tata Cara Pernikahan Adat Sunda PN Purwakarta Bikin Romantis, Santuni Anak Yatim dan Kaum Duafa
Pantas jika masing-masing yang berperkara akan memaksimalkan bahwa fakta yang dilakukan adalah sesuai dengan norma.
Sementara ukuran norma yang diajukan oleh masing-masing direduksi sesuai kepentingan dan motivenya.
Maka perlu penengah dari pola pikir yang dianggap jumpalitan alias jungkir balik-kebalik-balik, sesuai dengan motiv dan kepentingannya.
MK salah satu harapan terakhir yang menentukan mana yang jungkir balik pikirannya soal sengketa pemilu. MK yang mendasarkan keputusannya tidak hanya pada soal “Is dan atau Ought” saja.
Sebab masing-masing memosisikan berlomba pada ajegnya argument pikirnya.
Alias mencari alasan pembenaran sesuai dengan kepentingannya masing-masing.
Lalu siapa penengah dari jungkir baliknya argument di media sosial dan dikehidupan masyarakat yang tak mungkin sampai ke MK?
Mungkin pikiran kritis yang mulai mati, harus dihidupkan lagi. (Kang Marbawi, 31.03.24)