Oleh
1.Drs. Priyono, MSi (Dosen senior pada Fakultas geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta)
2. Arif Jauhari, SSi, MMB (Alumni Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan Inisiator Program Pengangkatan Air Goa Suruh serta Konsultan Kebencanaan)
3.Alfi Setia Fajar Utama (Ketua Giri Bahama Geografi UMS tahun 2024)
4. Imam Budi Mulyono,SSi (Alumnus Fakultas Geografi UMS, Guru SMAN 3 Pemalang ,Jateng)
Baca Juga:Mempertahankan Amalan Pasca Bulan RamadhanDiduga Terbakar Cemburu , Pria Asal Kotabaru Karawang Bacok Mantan Istri dan Suaminya
Manusia tidak lepas dari kebutuhan air baik untuk kebutuhan rumah tangga sampai untuk memenuhi hewan piaraannya terutama di daerah pedesaan yang nota bene hewan menjadi tenaga yang dibutuhkan sekaligus untuk investasi bagi rumah tangga pedesaan, sehingga karena pentingnya kehadiran hewan di dalam sebuah keluarga, sampai sampai kandang hewannya di tempatnya di depan rumah bukan sebaliknya. Persoalan air adalah persoalan hidup atau mati. Tidak ada air maka tidak ada kehidupan. Air merupakan kebutuhan yang penting baik bagi manusia, hewan maupun tumbuhan. Bersyukurlah kita yang ada di daerah dataran rendah, kebutuhan air bisa dicukupi dengan baik bahkan berlebih, akan tetapi bagi kehidupan masyarakat di daerah karst ketersedian air jadi masalah sehingga sering terjadi kekeringan saat kemarau tiba, termasuk kekeringan yang dialami oleh masyarakat Pucung, Kecamatan Eromoko, Wonogiri, yang tinggal pada daerah topografi karst pada ketinggian 600 m dpal.
Desa Pucung adalah salah satu desa di kawasan karst di kecamatan Eromoko, Wonogiri yang dahulu (sebelum tahun 2013) selalu mengalami kekeringan pada musim kemarau yang menyebabkan masyarakat memikul beban berat karena harus membeli air yang didrop dari Wonogiri untuk bisa menghidupi kebutuhan keluarga dan hewan piaraannya. Penduduk yang pada umumnya adalah petani tanah kering di pegunungan, yang kesulitan air di saat kemarau, biasanya mengambil air dari mata air, telaga atau bentukan karst lainnya. Saat musim hujan, mereka menampung air hujan melalui talang seng atau batu bata yang telah disemen kemudian disalurkan melalui bak penampung bisa di depan atau di belakang rumah, dengan ukuran sesuai dengan kondisi ekonomi dan jumlah anggota masing masing keluarga. Akan tetapi cadangan air itu habis sebelum musim hujan tiba dan saat puncak kemarau, mereka dilanda kekeringan yang membara. Kondisi ekonomi yang pas pasan dilanda kekeringan akan menambah berat beban ekonomi keluarga sehingga mereka mencari alternatif untuk mencari hasil dengan melakukan mobilitas ke luar daerah, disamping cara yang lain seperti efesiensi dalam rumah tangga dll.