Problem yang muncul kemudian adalah bagaimana mengelola air sungai bawah tanah agar lestari untuk anak cucu di kemudian hari karena sudah mendapat suntikan dan teknologi yang tinggi harus diikuti dengan menjaga kelestarian. Dalam perspektif religi, aksi ini disebut sebagai amal jariyah bagi yang menginisiasi dan mengerjakan dan dalam perspektif akademik maka aktivitas ini merupakan sinergi antara kegiatan proses belajar mengajar dengan kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, yang memiliki nilai yang tinggi dalam khasanah akreditasi Institusi. Perguruan Tinggi tidak boleh hanya menjadi mercu suar yang gagah namun tidak membantu memecahkan problem nyata dalam masyarakat, akan tetapi menjadi mercu suar air yang bisa mengatasi kekeringan di daerah karst. Pengelola air Goa Suruh sudah dibentuk sejak Januari 2013 yang melibatkan unsur kepala desa, pamong desa, kepala dusun, tokoh masyarakat dan pengurus pecinta alam Giri Bahama dan Fakultas Geografi UMS. Pengelola ini harus mendapat pendampingan dari Fakultas Geografi UMS agar tidak ada hambatan untuk jaga kelestarian. Problem klasik biasanya menyangkut transparansi penggunaan dana, setoran warga mungkin satu dua yang macet atau malah penyimpangan dalam tubuh pengurus sendiri, ini penyakit lama. Problem berikutnya yang muncul adalah soal kesejahteraan pengelola dan mempertahakan atau bahkan meningkatkan debit air Goa Suruh dengan reboisasi serta penambahan jumlah pelanggan karena belum semua warga desa Pucung mendapatkan asupan dari program pengangkatan ini.
Berita aktual yang menggembirakan adalah pemanfaat air sungai bawah tanh Goa Suruh yang dikembangkan, tidak hanya untuk kebutuhan rumah tangga, akan tetapi untuk kegitan produktif seperti pertanian, perikanan dll yang bisa menambah penghasilan petani atau minimal mengurangi konsumsi. Sayur dan lauk pauk seperti lele, ikan tidak perlu membeli tapi bisa dicukupi sendiri dengan memanfaatkan limpahan debit air sungai Goa Suruh. Kreativitas masyarakat dan menggali potensi sumberdaya alam wilayah karst sangat didambakan untuk masa yang akan datang, terlebih bisa menambah debit air sungai bawah tanah selagi kemarau tiba. Usaha pelestarian ini dapat dilakukan dengan tiga jalan, yaitu Satu, menjaga kawasan batugamping karst tetap lestari, jauh dari pengeprasan permukaan batugamping apalagi penambangan, untuk memastikan daerah resapan air tidak terganggu. Kedua dengan menjaga tanaman, baik perdu ataupun tanaman keras di bukit-bukit karst tetap lestari sebagai kontrol masuknya air hujan ke wilayah resapan. Serta ketiga menjaga kualitas air dengan mengurangi bahkan seandainya bisa menghentikan pemakaian zat kimia dalam pengolahan tanaman pertanian ataupun peternakan. Penglolaan ini secara garis besar untuk menjaga kualitas dan kuantitas air untuk konsumsi harian layak dan lestari sebagai tanggung jawab menjaga keberlangsungan kehidupan dan penghidupan generasi saat ini ke generasi hari esok. (*)