Pada tahun 1929, seorang tamu dari Belanda bernama Pak Cloeden mengunjungi desa tersebut dan disuguhi Papais. Tamu tersebut sangat menyukai makanan tersebut dan menyebutnya sebagai “Papais” dengan ejaan Belanda. Sejak saat itu, nama Papais menjadi populer dan dikenal luas.
Papais Cisaat tidak dijual di pasaran sebagai upaya menjaga keunikan dan keasliannya. Larangan ini berasal dari sesepuh desa yang ingin menjaga status makanan ini sebagai hidangan istimewa bagi para tamu penting.
“Ini adalah kesukaannya paramenak ini jangan dijual di luar apalagi di pasar karena waktu itu pakanan menak dan pakanan biasa harus dibedakan,” kata Aep.
Baca Juga:KSOP Kelas II Patimban Sosialisasi Pas Kecil dan Pengukuran Kapal Tahun Anggaran 2024Pendapatan PLN Tumbuh Signifikan Mencapai Rp487 Triliun, Ditopang Peningkatan Penjualan Tenaga Listrik
Hingga kini, tradisi pembuatan Papais tetap hidup di Desa Cisaat. Masyarakat, terutama para ibu-ibu, masih bisa membuat Papais, meskipun tidak dijual bebas. Papais hanya dibuat berdasarkan pesanan khusus.
“Kalau mau di pesan, sok pangbikinkeun Papais 200 biji mah jadi membeli gitu, dan tidak menjual satuan. Karena masih tetap pamali,” tambah Aep.
Selain itu Aep juga menambahkan harapannya, ia berharap untuk anak muda bisa berinovasi dan membuat sejarah baru lagi bagi Desa Cisaat.
“seperti dari kuliner atau makanan-makanan lainnya,”tutupnya.