Tak hanya pelaku usaha perhotelan dan restoran yang terdampak, masyarakat lokal juga mulai merasakan efek domino dari kebijakan ini.
Salah satu dampak nyata yang terjadi adalah penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sebelumnya diperoleh dari pajak hotel dan restoran.
“Jika hotel dan restoran sepi, otomatis pemasukan pajak ke daerah juga akan menurun. Ini bisa berdampak pada pembangunan daerah yang selama ini bergantung pada PAD dari sektor pariwisata,” tambah Ratna.
Baca Juga:Polres Subang Cek Kesiapan Pos Pengamanan Idul Fitri 1446 HBupati Purwakarta Ingatkan Bapperida Tak Asal Coret Usulan Hasil Musrenbangdes
Selain itu, masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata, seperti petani lokal yang memasok bahan makanan ke restoran dan hotel, juga ikut merasakan imbasnya.
“Petani-petani lokal yang biasa mensuplai sayuran, buah-buahan, hingga bahan makanan ke hotel dan restoran juga terdampak. Dengan menurunnya permintaan, maka pendapatan mereka pun ikut tergerus,” jelasnya.
Situasi yang semakin sulit ini, PHRI Subang berharap ada kebijakan alternatif yang bisa menyelamatkan sektor pariwisata di Subang.
Jika tidak ada solusi konkret, maka gelombang PHK massal dan kebangkrutan hotel serta restoran hanya tinggal menunggu waktu.
“Kami membutuhkan dukungan dari pemerintah daerah untuk mencari solusi terbaik agar sektor perhotelan dan restoran bisa bertahan. Jangan sampai kebijakan yang dibuat justru mematikan sektor usaha yang sudah susah payah bangkit setelah pandemi,” pungkas Ratna.
Saat ini, pelaku usaha perhotelan dan restoran di Subang hanya bisa berharap ada kebijakan yang lebih fleksibel dan mendukung pemulihan sektor pariwisata, agar roda ekonomi daerah bisa kembali berputar.(hdi)