PURWAKARTA-Ketua Presidium Aliansi Buruh Purwakarta sekaligus Ketua Exco Partai Buruh Kabupaten Purwakarta Wahyu Hidayat mengingatkan jika 30 November 2023 adalah batas akhir untuk gubernur memutuskan besaran upah minimun kabupaten/kota (UMK) tiap kabupaten.
Namun, untuk Jawa Barat, dengan telah ditandatanganinya berita acara rapat dewan pengupahan provinsi yang meminta diskresi Pj Gubernur, maka, kata Wahyu, bisa saja Pj Gubernur memutuskan pada 29 November 2023.
“Kabur mulu. Ngga bupati, ngga gubernur sama saja. Seperti berat banget buat ketemu tamu-tamunya yakni kaum buruh. Kaum yang memang sering termarjinalkan ini,” kata Wahyu kepada wartawan di tengah aksi, Rabu (29/11).
Baca Juga:Subang Dinobatkan Sebagai Kabupaten Sehat wasti Saba dari Kementerian Kesehatan RISekda Subang Asep Nuroni: Korpri Tulang Punggung Pemerintahan Indonesia
Hanya saja bedanya, sambung dia, kalau Pj Bupati Purwakarta, sebelum batas akhir memberikan rekomendasi UMK tidak menggunakan PP 51/2023 yakni sebesar 12 persen. Sehingga, Wahyu pun mengapresiasi sekalipun masih di bawah target yakni 15 persen.
“Unsur Depeprov dari pemerintah dan Apindo benar-benar berniat untuk memiskinkan buruh se-Jawa Barat. Rekomendasi para bupati/wali kota mereka mentahkan. Rekomendasi kenaikan UMK Purwakarta sebesar Rp 535.760,98 atau 12 persen oleh unsur pemerintah diusulkan hanya naik Rp23.394,98 (0,52 persen) dan unsur pengusaha (Apindo) mengusulkan supaya tidak naik upah. Gila!” ujarnya geram.
Karenanya, kata Wahyu, sekali pun urusan buruh adalah dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Wahyu menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Purwakarta disebabkan ribuan buruh kembali turun ke jalan dengan melakukan konvoi kendaraan roda dua dari segenap penjuru menuju Bandung.
“Jalan arteri Cikopo – Darangdan pasti akan tersendat atau terdampak macet.
“Namun, terpaksa hal ini kami lakukan untuk membalas penghinaan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat maupun Apindo. Penghinaan terhadap buruh Jawa Barat maupun atas rekomendasi para bupati/wali kota se-Jawa Barat,” ucapnya.
Pemrov Jabar dan Apindo, lanjut Wahyu, benar-benar memaksa buruh untuk terus unjuk kekuatan bahkan mungkin hingga benar-benar buruh terpaksa menghentikan mesin produksi maupun roda perekonomian.
“Kami ngga bisa banyak berharap karena memang kekuatan politis kelas pekerja yakni Partai Buruh belum bisa menjadi penentu kebijakan sehingga jalanan menjadi pilihan perlawanan. Kita ganti itu nanti para personel pemerintah daerah yang justru malah berorientasi untuk turut memiskinkan kaum buruh,” kata Wahyu.