INI seperti musim gugur tokoh sayap kanan dunia. Satu lagi tokoh mereka pergi: Shinzo Abe. Mantan perdana menteri Jepang selama 9 tahun.
Presiden Donald Trump kalah Pilpres di Amerika Serikat. Boris Johnson tersingkir di Inggris pekan lalu. Tinggal Narendra Modi yang masih berjaya di India.
Abe ditembak dari belakang saat sedang berpidato di Nara. Kota ini satu jam dari Kobe. Ke arah timur. Atau 6 jam dari Tokyo. Ke arah barat. Abe lagi berkampanye untuk juniornya, Kei Sato, sesama partai LDP, yang ingin jadi anggota parlemen lagi. Umur Sato 43 tahun. Sudah jadi anggota parlemen sejak 2016. Dapilnya memang Nara.
Baca Juga:KPU Kota Bandung Ajukan Rp127 Miliar untuk Dana PilkadaLebaran Idul Adha, KIIC Karawang Qurban 100 Ekor Domba
Video penembakan Abe ini ditonton jutaan orang sedunia. Suara tembakan pertama terdengar jelas. Tapi, menurut para ahli senjata, suara itu seperti bukan suara dari senjata api pada umumnya. Lalu ada suara tembakan kedua: Dor! Abe tersungkur. Jantungnya terkena peluru panas. Asap putih begitu banyak. Asap itu datang dari suara tembakan. Senjata ini aneh. Suaranya. Juga asapnya.
Ternyata senjata itu memang rakitan sendiri. Di Jepang tidak ada toko jual senjata. Juga tidak ada izin kepemilikan senjata bagi perorangan biasa.
Nama penembak itu Anda sudah tahu: Tetsuya Yamagami. Umur 41 tahun. Ia pernah tiga tahun di tentara angkatan laut. Pangkatnya kopral. Yamagami pun berhenti dari ketentaraan. Ia bekerja jadi operator forklift. Lalu berhenti lagi. Ia dalam status menganggur saat ditangkap menembak Abe.
“Tidak ada motif politik,” ujar Yamagami kepada polisi seperti disiarkan media di Jepang.
Awalnya Yamagami tidak ingin menembak tokoh politik. Ia hanya akan menembak tokoh Gereja Unifikasi. Yamagami sakit hati. Luar biasa. Ibunya bangkrut, katanya, gara-gara gereja aliran Unifikasi itu. Seluruh harta ibunya didonasikan untuk jalan Tuhan.
Di Amerika gereja ini terkenal dengan sebutan Gereja Moon. Kaya raya. Punya harian terkemuka di Washington DC: The Washington Times. Memang oplahnya jauh dari The Washington Post, tapi cukup terpandang.
Gedungnya, khususnya ruang redaksinya, mengesankan. Kelak, di tahun 1996, ketika saya membangun gedung Jawa Pos, ruang redaksinya saya buat mirip Washington Times. Ditambah inspirasi dari South China Morning Post, Hong Kong.