Oleh :
Drs.H.Priyono,MSi ( Dosen pada Fakultas Geografi UMS dan Penasehat Takmir masjid Al Ikhlash, Desa Sumberejo,Klaten Selatan )
Setelah seminggu kita tinggalkan bulan ramadhan yang sarat dengan ibadah , bulan pendidikan bagi yang berfikir dan bulan yang penuh rahmat dan ampunan, diharapkan ketaqwaan kita semakin meningkat, lebih-lebih dalam bulan syawal ini. Bulan Syawal berarti bulan peningkatan, maka seyogyanya kita tingkatkan ketaqwaan kita, kita tingkatkan amal-amal baik kita. Kalau selama bulan Ramadhan kemarin kita rajin sholat berjamaah di masjid, menjaga disiplin ibadah, rajin tadarus, rajin berinfak, rajin bershodaqoh dan amal-amal baik lainnya, kemudian jangan sampai kita beramal baik hanya pada bulan ramadhon saja, setelah itu kita kembali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan anjuran agama. Sehingga hilanglah ketaqwaan kita bahkan ada yang sampai kehilangan keimanannya. Investasi ibadah yang telah kita lakukan pada bulan mulia hendaknya tetap bisa dipertahankan pada bulan berikutnya, itulah hakekat istiqamah.
Ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Baru beberapa hari kita tinggalkan bulan suci, shaf sholat jamaah di masjid telah mengalami kemajuan artinya jumlah jamaahnya menyusut seperti sebelum ramadhan. Bulan ramadhan bisa sampai 3 shaf putra maupun putri, tapi kini tinggal 1 sahaf atau bahkan separoh shaf baik putra maupun putri. Ini menunjukkan bahwa ibadah secara istiqamah belum bisa dilaksanakan secara sempurna tapi hanya bulan atau saat tertentu, pada hal Allah sangat mencintai ibadah yang istiqamah, sesui dengan hadits Nabi : diriwayatkan dari Aisah RA bahwa sesorang bertanya kepada Rasul, apakah amal ibadah yang paling dicintai Allah ? beliau menjawab amal ibadah yang dilakukan secara tetap ?istiqamah walau sedikit (HR Bukhari)
Baca Juga:Pantai Patimban Ramai Dikunjungi WisatawanPenghasilan Pedagang Menurun Saat Revitalisasi Alun-alun
Allah memberikan ukuran keberhasilan puasa dengan memberi perumpamaan cara berpuasa manusia dengan puasanya ular dan ulat. Ular sebelum mengganti kulitnya dengan kulit yang baru, ular melakukan puasa dulu, puasa ular hanya menahan lapar dan haus saja, sehingga begitu selesai mengganti kulitnya tabi’at ular tidak ada bedanya dengan tabi’at sebelum mengalami pergantian kulitnya. Cara bergeraknya tetap merayap, makanannya tetap katak atau tikus, bahkan racunya sangat berbahaya kalau menggigit. Lalu bagaimana dengan puasa ulat ? Sewaktu masih berwujut ulat memang sangat rakus, memakan daun-daun bahkan sangat merugikan manusia kalau menyerang tanaman pertanian. Setelah itu ulat akan menjalani puasa sewaktu jadi kepompong, puasanya tidak hanya sekedar menahan lapar dan haus, seluruh panca inderanya ikut berpuasa bahkan nalurinya juga berpuasa. Setelah berubah menjadi kupu-kupu maka bentuk metamorfosanya jauh dari bentuk asalnya, berbeda sama sekali dengan ulat. Bentuknya, warnanya jadi indah tidak menjijikan lagi, cara bergeraknya terbang dengan sayapnya, makanannya mencari yang baik-baik yaitu menghisap sari pati bunga, bahkan kupu-kupu membantu manusia dalam penyerbukan tumbuhan. Kita bisa memetik pelajaran dari perumpamaan itu yaitu dengan bermuhasabah atau berintrospeksi diri kira-kira puasa kita kemarin tergolong puasa yang bagaimana. Puasa itu sebuah proses yang harus dijalani oleh manusia agar mencapai derajat yang paling tinggi dihadapan Allah, yang endingnya adalah menjadi manusia taqwa, manusia yang memiliki perilaku yang baik atau berakhlak mulia dan menghindari perbuatan yang tercela termasuk menzalimi diri sendiri misalnya tidak bisa membedakan hal yang halal dan haram, malas beribadah, menumpuk perbuatan jelek tapi mengikis perbuatan bagus.