Presiden Jokowi Anggap Remeh Konflik Konstitusional! Putusan MK Hal yang "Biasa"!

Presiden Jokowi Anggap Remeh Konflik Konstitusional! Putusan MK Hal yang \"Biasa\"!
Presiden Jokowi Anggap Remeh Konflik Konstitusional! Putusan MK Hal yang \"Biasa\"!
0 Komentar

PASUNDAN EKSPRES – Presiden Joko Widodo memberikan tanggapan terkait polemik yang mencuat mengenai syarat pencalonan kepala daerah setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan suatu ketetapan yang kemudian dianulir oleh Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Menurut Presiden, perbedaan pandangan antara lembaga negara merupakan hal yang lumrah dan merupakan bagian dari dinamika konstitusi di Indonesia.

“Ini adalah proses konstitusional yang biasa terjadi dalam lembaga-lembaga negara yang kita miliki,” ujar Presiden Jokowi dalam sebuah video pernyataan yang diunggah di kanal YouTube resmi Sekretariat Presiden pada Rabu (21/8/2024) sore.

Presiden Jokowi menekankan bahwa pemerintah menghormati setiap kewenangan dan keputusan yang dibuat oleh lembaga-lembaga negara. “Kita hormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara,” tegasnya.

Baca Juga:Pemerintah DKI Jakarta Bebaskan Pajak Tahunan untuk 5 Jenis Kendaraan, Ini AlasannyaWaspada Mpox! Pemeriksaan Kesehatan Ketat bagi WNA di Perbatasan Indonesia

Pernyataan ini disampaikan di tengah polemik yang sedang berlangsung terkait revisi Undang-Undang Pilkada. Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada dari Baleg DPR RI baru saja menolak untuk mengikuti Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai syarat usia minimum calon kepala daerah. MK sebelumnya telah memutuskan bahwa usia minimum calon kepala daerah harus dihitung saat penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, Baleg DPR memilih untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa usia minimum calon dihitung sejak tanggal pelantikan.

Keputusan DPR untuk tidak mengikuti putusan MK ini diambil dalam rapat yang berlangsung cepat pada Rabu (21/8/2024), hanya dalam hitungan menit. Mayoritas fraksi, kecuali PDI-P, sepakat untuk mengadopsi putusan MA. Mereka berpendapat bahwa baik putusan MK maupun MA sama-sama sah dan dapat dijadikan dasar hukum dalam penyusunan revisi UU Pilkada.

Polemik ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, terutama dari kalangan ahli hukum yang menilai bahwa putusan MK memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi karena menyangkut pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Sementara itu, putusan MA dianggap lebih rendah karena hanya menguji peraturan KPU terhadap UU Pilkada. Fraksi PDI-P, melalui perwakilannya Putra Nababan dan Arteria Dahlan, berargumen bahwa seharusnya DPR mematuhi putusan MK, mengingat posisinya yang lebih tinggi dalam hierarki hukum.

0 Komentar