PASUNDAN EKSPRES – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan kampanye di fasilitas pendidikan dengan sejumlah syarat telah menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G).
Mereka berpendapat bahwa keputusan ini membuka pintu lebar bagi mobilisasi politik yang berpotensi mengganggu lingkungan belajar.
“Bayangkan ada pemilu dan pilkada yang akan dihadapi. Sekolah akan sibuk menjadi arena pertarungan politik praktis. Sekolah, guru, siswa, dan orang tua akan membawa politik partisan ke dalam ruang-ruang pembelajaran,” kata Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, dikutip dari Kompas pada Selasa (22/8/2023).
Baca Juga:17 Daftar Harga Set Box Tv Digital Berbagai Merk, Ada Sertifikat KominfoDaftar Harga Motor Listrik Bekas: Pilihan Hemat dengan Catatan Tepat
Iman menambahkan, “Siswa, guru, dan warga sekolah akan sangat rentan dimobilisasi sebagai tim kampanye atau tim sukses para kandidat. Ini bukan pendidikan politik, melainkan mobilisasi politik yang akan berdampak buruk.”
MK telah menjelaskan bahwa penggunaan sekolah untuk keperluan kampanye hanya diperbolehkan jika tidak menggunakan atribut kampanye dan telah mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat.
Namun, menurut P2G, kepala sekolah mungkin akan kesulitan menolak permintaan untuk menggunakan gedung sekolah untuk kampanye, terutama jika permintaan tersebut datang dari pemerintah daerah atau dinas pendidikan.
“Apalagi jika pimpinan struktural di sekolah atau daerah sudah memiliki preferensi politik tertentu,” tambah Iman.
P2G juga menyuarakan kekhawatiran bahwa putusan MK ini dapat membahayakan kepentingan siswa, guru, dan orang tua, serta menjadi beban dalam praktik pembelajaran di sekolah.
Aktivitas sekolah diprediksi akan terganggu oleh aktivitas kampanye, seperti sosialisasi pemilu atau sosialisasi kandidat, yang dapat memberikan beban psikologis pada anak-anak dan guru.
Iman menjelaskan, “Kondisi seperti ini juga meningkatkan risiko terjadinya perundungan di sekolah, saat sekolah menjadi arena kampanye pemilu. Siswa yang memiliki pilihan politik berbeda dari mayoritas mungkin akan mengalami intimidasi oleh teman-temannya, terutama jika materi kampanye mencakup isu politik identitas.”
Baca Juga:Kontroversial WFH ASN DKI, Efektif Turunkan Polusi Udara atau Macet KTT ASEANKalahkan Timor Leste, Akankah Timnas Indonesia Melaju ke Semifinal Piala AFF U-23?
Sementara itu, Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, berpendapat bahwa revisi peraturan diperlukan untuk mengatur lebih rinci ketentuan kampanye di fasilitas pendidikan dan pemerintah, karena MK tidak memberikan panduan yang cukup rinci.