SUBANG-Terdapat silang pendapat soal penyebab longsor di Kampung Cipondok, Desa Pasanggaran, Kecamatan Kasomalang, Minggu (7/1). Peristiwa itu menewaskan dua warga.
Pegiat lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jabar menyebut longsor disebabkan eksploitasi air berlebihan.
Penyelidik Bumi Ahli Muda Bidang ESDM Disnakertrans Subang, Ivan Sovian menyebut karena retakan tanah di bukit.
Baca Juga:Ruhimat Bersama Barisan Pemenangan Prabowo-GibranPenjabat Bupati Subang Imran Titip Pesan ke Guru Agar Tidak Ada Bullying di Sekolah
Kepala SAR Bandung Hari Marantika menyebutkan tanah longsor terjadi karena kondisi tanah labil.
Lalu, PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM menyebutkan hujan lebat menjadi pemicu longsor.
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin mengatakan, longsor yang terjadi bukan semata-mata karena intensitas hujan tinggi.
Maka dari itu, satu hari setelah terjadi bencana, WALHI Jabar langsung melakukan investigasi dan assesment cepat di lokasi bencana.
“Dari hasil assesment cepat yang kami dapatkan dari lapangan, kejadian longsor yang berada di lokasi PT. Tirta Investama (Aqua) tidak luput dari gangguan pengoboran yang dapat memicu longsor Ketika hujan terus mengguyur pada saat itu,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Pasundan Ekspres, belum lama ini.
Menurutnya, letak geografis lokasi bencana tersebut berada pada kawasan yang memiliki sumber mata air yang besar. Di mana kolam yang dijadikan sebagai tempat wisata tersebut memanfaatkan air yang keluar dari kawasan di sekitarnya.
Dugaan lain, kata Wahyudin, kejadian longsor juga disebabkan oleh adanya sumur bor di kawasan tersebut untuk kebutahan privatisasi air kemasan sehingga tanah menjadi labil.
Baca Juga:Disnakeswan Subang Minta Pelaku Pemalsuan Surat Ditetapkan TersangkaTransformasi Pengelolaan Kinerja Guru dan Kepala Sekolah
“Sumur bor tersebut telah melampui kemampuan daya serap tanah yang akhirnya menyebabkan tanah menjadi labil,” ujarnya.
Dari informasi yang WALHI Jabar dapat, PT. Tirta Investama telah mengantongi ijin pengambilan air untuk air kemasan sejak tahun 1998. Maka lokasi tersebut pastinya akan mengalami kelabilan tanah.
“Jika tidak disertai dengan upaya reporestasi kawasan di sekitar eksploitasi air tersebut, sehingga pemerintah patut meminta jawaban kepada PT. Tirta upaya dalam menjaga mata air selama ini apa yang mereka lakukan,” tegasnya.
Selain sedikitnya terdapat gangguan dari sumur bor PT. Tirta, ia mengatakan, terdapat juga kebutuhan air yang telah dilakukan oleh PDAM.